JAKARTA — Sebagian orang masih menganggap menulis sesuatu yang menjemukan. Namun pada realitanya, menulis merupakan bagian dari membahagiakan diri, berbagi curahan hati, hingga sebagai terapi jiwa.
Hal ini yang disampaikan Iu Rusliana, M.Si, CHRA, dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menyatakan perlu adanya upaya untuk mengubah mindset bahwa budaya menulis itu membosankan.
“Saya menganggap menulis merupakan sarana untuk membahagiakan diri. Sekarang banyak ditemui kumpulan tulisan seseorang dari sosial media yang diterbitkan menjadi satu buku,” ungkap Iu Rusliana pada webinar Pesantren Ramadhan 1443 H/ 2022 M yang diselenggarakan oleh Komisi Pendidikan dan Kaderisasi Majelis Ulama Indonesia, Jumat (15/4/2022).
Dalam acara yang bertajuk Remaja Meraih Impian “Membangun Remaja Muslim Beriman dan Bertaqwa Pasca Pandemi”, Iu Rusliana juga menyampaikan banyaknya euforia semangat menulis tidak diiringi dengan mendisiplinkan diri untuk mulainya. Sehingga karya tersebut tidak mampu dihasilkan jika ide hanya sebatas euforia.
Di samping itu, menulis merupakan sarana komunikasi diri. Dalam istilah psikologi yaitu autobiografi disebutkan barang siapa tak bisa menuliskan dirinya maka tak mengenal dirinya.
“Menulis bisa kapan saja dilakukan. Saat terbesit di benak satu kata kunci untuk bahan tulisan, segera catat. Karena ide itu bisa hilang, agar tidak hilang maka harus ada catatan yang disimpan untuk mengikatnya,” ujar Dosen UIN Sunan Gunung Djati tersebut.
Dengan teknologi yang sudah semakin maju dan berkembang, Iu Rusliana menuturkan kegiatan menulis bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun. Bahkan saat seseorang sedang di transportasi umum, menunggu antrian, ataupun ketika tengah bersantai di meja makan.
Apabila budaya menulis ini telah terbentuk, maka akan melahirkan literasi yang maju. Literasi merupakan bagian dari wahyu sejak awal Islam ada.
Hal ini dimanifestasikan dalam wahyu pertama yaitu surah al-Alaq yang memerintahkan untuk membaca. Oleh sebab itu membaca dan menulis adalah inti tugas penting peradaban manusia yang tercatat dalam spirit agama Islam.
“Ketika menulis, tidak jarang kita menghadapi cognitive blocking atau ketidakmampuan memulai dan menyelesaikan tulisan yang sedang dikerjakan. Solusinya yang bisa digunakan yaitu dengan berhenti sejenak atau mengikuti forum diskusi dan membaca buku untuk menggali kembali inspirasi,” katanya.
Kondisi cognitive blocking menurut Iu Rusliana tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, hal tersebut memicu terbengkalainya tulisan yang sedang kerjakan.
Lebih lanjut, Dosen UIN Sunan Gunung Djati tersebut juga memberikan 7 prinsip menulis dengan cinta dalam webinar Pesantren Ramadhan.
Pertama, menulis dengan ungkapan hati atau yang dikenal dengan istilah curhat (curahan hati)
Kedua, buat tulisan yang ringan untuk dibaca.
Ketika, mulai menulis dari kata kunci yang ada di dalam pikiran.
Keempat, membaca banyak referensi, fokus untuk menggarap tulisan, dan kerjakan dengan sistematis.
Kelima, percaya diri dengan apa yang ditulis. Dia mengistilahkan dengan merayakan kebodohan diri bahwasanya tidak ada tulisan yang sempurna. Hadirnya kritik merupakan dialektika untuk mengembangkan agar tulisan semakin baik.
Keenam, tidak ada yang sempurna, bukan berarti merupakan karya yang selesai.
Ketujuh, tinggalkan jejak kebaikan. Tulisan yang bermanfaat merupakan ladang kebaikan yang akan terus mengalir pahalanya.
(Isyatami Aulia/Fakhruddin)