JAKARTA — Imam Masjid New York, Prof. Mohammad Shamsi Ali menyebutkan terdapat empat faktor pemicu lahirnya Islamofobia.
“Faktor pertama yaitu semakin menurunnya jumlah orang kulit putih dan populasi kaum non white semakin tinggi,” jelas Prof. Shamsi Ali dalam webinar interasional Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (HLNKI MUI), beberapa hari lalu, Rabu (30/3).
Pada webinar yang mengusung tema “Turn Back Islamofobia” tersebut, Prof. Shamsi Ali menyampaikan bahwa bertambahnya jumlah imigran yang datang ke Barat menjadi ketakutan bagi orang kulit putih.
Padahal jika ditelusuri akar sejarahnya, orang kulit putih merupakan dalang dari peperangan yang terjadi di daerah-daerah Timur Tengah seperti, Iran, Suriah, dan Afganistan.
Namun, hal ini pula yang menyebabkan bangkitnya gerakan politikus ekstrem putih. Bentuk respons mereka khawatir akan kejayaan umat Islam.
Sikap hasad kaum non muslim tersebut telah Allah beritakan dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 109, yang salah satu kutipannya:
…حَسَدًا مِّنْ عِندِ…
“Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri,”
Imam Masjid New York menjelaskan, jika hasad kaum non muslim pada zaman Nabi adalah adanya harapan pengutusan Nabi terakhir dari kalangan mereka. Namun, pada masa kini sifat hasad terjadi karena mereka menganggap Islam adalah agama yang lemah, kurang terdidik secara teknologi dan sains tapi terus berkembang jumlah pengikutnya.
“Di Amerika, semakin mereka mencari cara untuk menekan Islam, maka justru Islam semakin berkembang. Seperti pada tragedi 911 ada yang mengistilahkan sebagai keguguran Islam, tapi pada satu sisi justru menjadi penyebab kebangkitan dakwah di Amerika,” tegasnya.
Faktor kedua, adanya trauma sejarah. Terdapat ketakutan di kalangan Barat bahwa Islam akan berkuasa. Hal ini berdasarkan anggapan mereka yang melihat bahwa menuju pada kebangkitan tersebut semakin nampak.
Di Amerika dan dunia Barat, Prof. Shamsi Ali menuturkan bahwa Islamophobia telah menjadi catatan sejarah kelam yang bagi orang kulit putih trauma kembalinya kekuatan Islam.
Dia menyampaikan, di negara-negara yang pernah menjadi Komunis masih terasa jelas sisa-sisa kejayaan Islam masa lalu, seperti di Serbia. Terdapat museum pertahanan Ottoman Empire yang ditata dengan baik sebagai upaya membangun kesadaran masyarakat Barat agar berhati-hati dengan kebangkitan Islam.
“Faktor ketiga yaitu adanya konstelasi politik. Pertarungan global ini ikut andil menjadi faktor besar yang melatar belakangi hadirnya Islamofobia,” katanya.
Prof. Shamsi Ali menilai, umat Islam masih terjebak dalam kesalahan penempatan agama dan politik. Yang dimana seharusnya agama menjadi inspirasi, bukan malah dijadikan kendaraan politik.
Faktor keempat yaitu umat Islam itu sendiri. Prof. Shamsi Ali menegaskan tidak berlebihan jika mengatakan lebih dari 60 persen Islamofobia terjadi karena faktor umatnya.
Hal ini dikarenakan umat Islam masih belum berhasil mengemban amanah ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga akhirnya menimbulkan ketakutan pada umat lain.
“Jika ingin merubah Islamofobia mari kita lakukan perubahan. Kalau Islam mampu kita tampilkan secara baik, maka akan menjadi kekuatan dahsyat, merubah mindset manusia tentang Islam. Perlunya menata diri kembali bahwa kita sedang menyeleweng dari ajaran Islam yang sesungguhnya yaitu menjadi umatan wasathan,” pungkasnya.
(Isyatami Aulia/Angga)