JAKARTA — Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan, bahwa aturan pengeras suara masjid dalam implementasinya harus memperhatikan kearifan lokal dan tidak bisa digeneralisir.
Kiai Niam menambahkan, aturan ini juga harus didudukkan dalam kerangka aturan yang umum dan penerapannya tidak kaku.
“Kalau di suatu daerah, terbiasa dengan tata cara yang sudah disepakati bersama, dan itu diterima secara umum, maka itu bisa dijadikan pijakan,” kata Kiai Asrorun Niam kepada MUIDigital, Kamis (24/2/2022).
Kiai Asrorun Niam pun mengapresiasi aturan pengeras suara masjid ini sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemaslahatan dalam penyelenggaraan aktifitas ibadah.
Menurutnya, hal ini juga merupakan bagian dari tugas negara untuk mengadministrasikan pelaksanaan ibadah agar dapat terlaksana secara baik, sesuai dengan kaidah keagamaan.
Kiai Niam mengungkapkan bahwa Surat Edaran pengeras suara masjid ini juga sejalan dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2021. Selain itu, kata dia, substansinya telah dikomunikasikan dengan MUI dan para tokoh agama.
“Intinya, dalam pelaksanaan ibadah, ada jenis ibadah yang memiliki dimensi syiar, sehingga membutuhkan media untuk penyiaran, termasuk adzan,” terangnya.
Tapi dalam pelaksanaanya perlu diatur agar berdampak baik bagi masyarakat. Jamaah dapat mendengar syiar, namun tidak menimbulkan mafsadah,” sambungnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu aturan yang disepakati sebagai pedoman bersama, khususnya terkait dengan penggunaan pengeras suara di tempat ibadah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menjamin ketertiban, serta mencegah mafsadah yang ditimbulkan.
(Sadam Al-Ghifari/Fakhruddin)