Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kerap menjadi sumber keretakan hubungan rumah tangga. Kalaupun tetap berjalan, hubungan sebuah pasangan menjadi tidak sehat. KDRT juga memunculkan trauma pada korban. Pada banyak kasus, pelaku KDRT sering tidak berubah dan korban dituntut mengalah. Bagaimana Islam memandang ini?
Ketua Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga (KPRK MUI), Siti Ma’rifah, menyampaikan bahwa pada dasarnya Islam menolak adanya kekerasan apapun bentuknya. Beberapa orang menafsirkan KDRT karena ada di dalam surat An Nisa ayat 34 berupa Wadhribuhunna. Dhoroba artinya memukul. Namun, apa sebenarnya maknanya?
Meskipun makna tesktualnya memukul, namun Imam Nawawi dalam kitabnya, Raudhatut Tholibin wa ‘Umdatul Muftiyin merinci makna wadhribuhunna. Menurutnya, memukul di situ tidak dimaksudkan untuk kekerasan tapi sebagai usaha penyadaran atas kesalahan.
Ma’rifah menukil salah satu hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi,
خيركم خيركم لأهله
“Yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.”
Dia menyampaikan, jika ditinjau dari sebab wurud hadist, kata ahli dalam hadist tersebut merupakan istri. Menurutnya, memberikan pengajaran kepada Istri dan keluarga bisa dilakukan tanpa kekerasan karena Islam sendiri sangat melarang kekerasan.
Ia mengutip QS An-Nisa ayat 148:
۞ لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلْجَهْرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, yang diucapkan dengan terus terang seperti cacian dan hinaan, Allah akan menghukum perbuatan itu.”
Korban KDRT jangan merasa sendiri
Dalam ayat tersebut, Ma’rifah menjelaskan, korban-korban KDRT hendaknya mengatakan perilaku KDRT kepada hakim atau pihak berkuasa. Langkah seperti itu diharapkan bisa mencegah kedzaliman sehingga korban KDRT bisa terpenuhi haknya.
Ia menjelaskan, ayat ini turun karena ada seorang yang bertamu kepada suatu kaum. Kaum itu kemudian mendzalimi seorang tersebut dan korban mengadukan kedzaliman yang dialaminya. Lalu turunlah ayat ini sebagai kemurahan untuk mengadukan kedzaliman.
Ketika seorang istri melakukan nusyuz (ketidaktaatan) kepada suami dalam kadar berlebih, suami bisa mengingatkan menggunakan sapu tangan. Itupun tidak boleh sampai melukai apalagi membekas di tubuh sang istri. Tidak boleh juga memukul di area vital yang bisa berakibat fatal.
Ia menerangkan, di dalam kitab Shahih Muslim, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda dalam haji wada’-nya:
واتَّقُوا اللهَ فِي النِّساءِ، فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح، وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang ma’ruf,”
Berlaku Lemah Lembut Tidak Berarti Melegalkan KDRT
Ma’rifah melihat, pembahasan KDRT yang belakangan ini ramai diperbincangkan karena tidak ada benang merah yang jelas antara menyadarkan pelaku KDRT dengan lemah lembut dan menerima (melegalkan) KDRT.
Menurut Ma’rifah, sikap seorang istri yang tetap lembut, tetap menjaga rahasia dirinya dan pasangannya adalah satu hal yang baik. Sementara membiarkan KDRT yang dialaminya adalah hal lain. Ketika bersikap lemah lembut untuk menyadarkan pelaku KDRT memang kerap dianggap telah melegalkan KDRT.
Benang merah antara melegalkan KDRT dengan sikap lemah lembut untuk menyadarkan KDRT, ada pada usaha untuk menyadarkan. Korban di sini berusaha menyadarkan, tidak semata menerima dan menelan sendiri KDRT yang dialaminya.
Bersikap lemah lembut tidak berarti menyerah namun itu langkah awal untuk menyadarkan. Ketika pelaku KDRT tidak mau berubah dan tidak mau sadar, maka perlu ada langkah lain untuk mencegah itu sehingga tidak berdampak pada korban.
Ma’rifah menilai, ada nilai moralitas dari seorang istri yang bersikap lemah lembut untuk menyadarkan pelaku KDRT. Penyadaran seorang istri yang mengalami KDRT kepada suami melalui kelembutan mampu merepresentasikan nilai keagamaan.
Islam, tutur Ma’rifah, hadir di dalamnya. Dakwah Islam dijalankan selaras dengan perbuatan istri tersebut yaitu melalui penyadaran-penyadaran. Langkah istri untuk tidak langsung mengadukan perlakuan suami juga untuk menyadarkan suami. Keinginan dan usaha menyadarkan ini yang menjadi benang merah antara bersikap lemah lembut atau mentoleransi KDRT.
MUI sendiri, kata dia, terus menyusun materi dakwah Islam yang komprehensif. Sehingga para dai mampu mengajarkan nilai Islam dan dakwah yang baik. Khusus KPRK MUI, akan melangsungkan bimbingan pra nikah untuk para pasangan yang akan menikah sehingga bisa memahami bagaimana berumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Selain itu, Siti Ma’rifah menilai, perlu kehadiran UU yang memberikan perlindungan hukum kepada korban KDRT. Namun, yang perlu digarisbawahi, pembahasan UU seperti ini perlu melibatkan banyak tokoh, khususnya tokoh agama. Sehingga satu sisi ini bisa melindungi korban dan sisi yang lain tidak bertentangan dengan batas-batas agama.
Saat ini, Komisi PRK MUI terus bersinergi dengan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak untuk memberikan masukan terkait RUU TPKS.
(Sadam Al-Ghifari/Azhar)