JAKARTA – Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), Imam Teguh Saptono mengatakan, pihaknya sedang mendorong pemanfaatan aset wakaf diarahkan kepada aset produktif, salah satunya dengan mengembangkan usaha Mikro dan UMKM.
Menurut Imam, orientasi pemanfaatan aset wakaf mulanya hanya beriorentasi kepada makam, madrasah, mushola, dan masjid sudah mulai diarahkan kepada aset-aset produktif.
Imam menjelaskan, pengembangan UMKM dan usaha Mikro bisa menggunakan lahan-lahan wakaf dijadikan tempat usaha. Dengan demikian, kata Imam, untuk mengembangkanya relatif murah.
“Saat ini yang bisa memiliki akses terhadap sewa tempat yang Ruko layak umumnya pedagang-pedagang yang modalnya cukup,” ujar Imam di sela-sela Kongres Ekonomi Umat II Majelis Ulama Indonesia (MUI), sabtu (11/12).
Imam menuturkan, lembaga wakaf harus beriorentasi pemanfaatan aset zakat dalam bentuk tanah strategis yang bisa menjadi sarana perdagangan atau produksi.
“Misalkan, membutuhkan pergudangan yang bisa dipakai secara bersama, atau bisa juga membangun super kitchen atau dapur bersama. Itu akan menjadi efektif,” paparnya.
Selain itu, ia juga menjelaskan mengenai penggunaan aset wakaf uang. Menurutnya, wakaf uang ini bisa dijadikan modal usaha lembaga mikro.
Namun, hal tersebut menurut Imam, membutuhkan keterampilan dari nazhir. “Nazhirnya harus terbiasa mengelola uang, dalam artian simpan pinjam,” tuturnya.
Mengacu pada UU Nomor 41 tahun 2004 Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Nazhir bisa bersifat perorangan atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut.
Imam menjelaskan, saat ini sudah banyak nazhir yang sudah terfdaftar dalam bentuk Baitul Mall al-Tamwil (BMT).
Imam berharap, para nazhir ini segera berkampanye ke Umat mengenai wakaf yang bisa diberikan dalam bentuk wakaf tunai.
Saat ini, kata Imam, pihaknya bekerjasama dengan departemen terkait baru menyelesaikan pelatihan dan sertifikasi keterampilan nazhir.
“Kita harapkan, dengan adanya sertifikasi ini, maka semua nazhir mendapatkan pemahaman dan keterampilan yang standar karena kalau kita harus akui bahwa pola pengembangan nazhir di Indonesia polanya buttom up, semua orang bisa jadi nazhir,” ungkapnya.
Bahkan, lanjutnya, kalau melihat di daerah tradisional, nazhir itu sampai ada turunan. Sehingga, pelatihan dan sertifikasi ini sangat diperlukan untuk upgrading dari keterampilan.
“Barulah kalau semua nazhir sudah mulai paham tentang pengelolaan aset wakaf, ini bisa dikembangkan lagi dengan berhimpun bersama beberapa nazhir,” tambahnya. (Sadam al Ghifary/Angga)