JAKARTA . Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas menyebut untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia harus melihat persoalan ini tidak hanya soal empiris atau sumber pengetahuan yang diperoleh dari observasi, melainkan melihat hal ini dengan teologis (keyakinan).
Hal itu disampaikanya dalam webinar “Perspektif Kesehatan untuk Pemulihan Kehidupan Masyarakat di Masa Pandemi di Sulawesi Selatan”, Sabtu (23/10). Webinar ini dilakukan dari hasil kerjasama MUI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
“Kalau di barat sana hanya mendekatinya dengan perspektif ilmiah saja, tapi kalau bagi kita sebagai seorang muslim, sebagai orang yang beragama, tentu melihat masalah ini tidak hanya masalah empirik saja tetapi menyangkut masalah-masalah teologis atau keyakinan kita,” ujarnya.
Selain itu, Dia mengungkapkan bahwa dalam menghadapi Covid-19 ini ada orang yang terlalu ekstrim dalam menafsirkan dan melihatnya dalam perspektif agama.
Menurutnya, mereka juga mempunyai dasar, segala sesuatu yang terjadi sudah tercamtum di lauhul mahfudz, hal itu didasari oleh firman Allah dalam Alquran Surat Al-Hadid ayat 22:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ
Artinya: “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.”
Dia menjelaskan, bahwa memang jutaan tahun silam hal tersebut sudah tertulis di lahul mahfudz.
Tetapi, lanjutnya, anggapan kena atau tidak Covid-19 karena alasan tersebut merupakan penafsiran yang ekstrem secara tekstual.
“Jadi bagi mereka-mereka itu yaa kalo (kata) tuhan kita kena covid ya kena covid, kalau tidak kena covid ya tidak kena covid. Itu cara pendekatan penafsiran yang menurut saya sangat ekstrem sekali secara tekstualitasnya,” tegasnya.
Namun, Buya Anwar Abbas juga melihat ada kelompok-kelompok yang menghadapi Covid-19 ini dengan perspektif ilmiah, saintifiks, dan tidak mengaitkanya dengan masalah keimanan. Untuk itu, menurutnya, empirik dan keimanan harus menjadi satu.
“Bagi saya masalah ini tidak bisa hanya didekati oleh empirik saja ya, dan tidak bisa juga didekati secara keimana saja, tetapi keduanya harus menjadi satu dan terintegrasikan,” paparnya.
Selain itu, dia mengungkapkan firman Allah SWT dalam Qs al-Baqarah 195: اَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Dia menuturkan, di antara bentuk-bentuk kebinasaan itu terkena oleh penyakit atau bahkan yang bisa menyebabkan kematian.
Untuk itu, kata dia, di dalam ayat ini kita memiliki kewajiban untuk taat pada perintah untuk menghindari terjadinya bencana, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
“Jadi di dalam ajaran agama kita berdasarkan ayat ini ya wajib karna ini berupa perintah, untuk kita wajib menghindari terjadinya bencana dan malapetaka, baik bagi diri kita maupun bagi diri orang lain,” jelasnya.
Oleh karena itu, Buya Anwar Abbas menyebut di dalam suatu koidah dinyatakaan karna virus covid-19 ini kategorinya menular, maka salah satu kaidah dalam fatwa MUI yang harus diperhatikan dalam bertindak di tengah Covid-19 ini prinsipnya,”La Dharara Wala Dhirara”.
“Jangan sampai tindakan yang kita lakukan itu menciderai orang lain atau bahkan kita sendiri yang dicidarai,” tuturnya. (Sadam Al-Ghifary/Angga)