JAKARTA — Perkembangan teknologi yang semakin pesat memberikan berbagai dampak dalam aspek kehidupan. Karenanya, dewasa ini dunia digital tidak mengenal batas (borderless) sehingga semua informasi dapat diakses tanpa terkecuali.
Berdasarkan data yang dirilis oleh We are Social pertahun 2021, terdapat 170 juta penduduk Indonesia atau 61,8% orang yang aktif bersosial media. Bahkan diperkirakan pada 2025 diperkirakan 80% orang di seluruh dunia tersambung dengan internet.
Hal tersebut disampaikan oleh Plt Karo Humas, Data, dan Informasi Kementrian Agama RI Dr Thobib Al-Asyhar, MSi pada webinar “Literasi Pandemi dan Pemulihan Ekonomi Se-Papua”. Acara tersebut diselenggarakan oleh Komisi Infokom MUI yang berkolaborasi dengan Kemenkominfo pada Selasa (12/10).
“Penggunaan internet yang semakin meningkat memicu adanya gelombang infodemi. Di era digital seperti sekarang terjadi semakin sempitnya informasi, karena hal tersebut dapat kita temukan dengan sangat mudah” papar Dr Thobib Al-Asyhar
Keterbukaan informasi menjadikan terbuka lebarnya kesempatan setiap orang untuk berkreasi baik yang berada di kota maupun desa. Sehingga terjadinya persaingan yang ketat dalam berbagai aspek kehidupan.
Dr Thobib Al-Asyhar menyebutkan munculnya sikap merasa berhak untuk eksis merupakan salah satu karakteristik dari umat digital. Setiap orang dapat berbicara apapun yang mereka inginkan di sosial media, terlepas hal tersebut melanggar aturan hukum ataupun moralitas.
Berbagai kemudahan yang didapatkan dari penggunaan platform digital mengarahkan manusia kepada perilaku simpel dan praktis. Karena berbagai aspek kehidupan seperti belanja maupun belajar dapat digunakan melalui smartphone.
Namun, karena kegiatan interaksi sosial dilakukan hanya berhadapan dengan benda mati (HP atau monitor) menjadikan tidak ada hambatan psikologis dalam mengungkapkan pendapat. Bahkan terkadang para pengguna digital tidak memahami rambu-rambu etika dalam berpendapat.
“Banjirnya informasi yang diterima atau infodemi, serta memiliki kecenderungan sanad dan matan yang tidak valid, mengakibatkan wabah informasi terkait kesehatan justru mampu bersaing bahayanya dengan pandemi virus corona itu sendiri,” jelas Plt Karo Humas, Data, dan Informasi Kementrian Agama RI ini.
Menurutnya, terdapat empat cara yang bisa dilakukan untuk menangani dampak infodemi yang menjalar di masyarakat.
Pertama, cek keterandalan (reability) sumber informasi yang diterima. Hal ini untuk menelusuri apakah berita yang didapatkan dari informan tersebut benar adanya.
Kedua, pertanyakan konten yang terasa aneh karena memungkinkan hal tersebut memang sebuah kepalsuan. Adanya kritik terhadap konten yang beredar sebagai uoaya validasi ulang berita yang diterima.
Ketiga, waspadai “bias diri”. Adanya sikap kebencian ataupun kecintaan terhadap tokoh memicu munculnya berita bohong.
Keempat, tengarai ciri-ciri kepalsuan. Hal ini meliputi salah ketik ataupun adanya tata bahasa yang didapat oleh penerima informasi.
“Sikap bijak dalam bersosial media harus terus digalakan. Karenanya jejak digital seseorang dapat dengan mudah dicari. Jika saja tidak mawas diri sedari awal, maka dosa jariyah berterus mengalir melalui konten di media sosial yang kita buat baik secara iseng ataupun dengan tujuan tertentu,” ungkapnya. (Isyatami Aulia/Din)