JAKARTA – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Miftachul Akhyar mengingatkan bahwa ajaran Islam ruang lingkupnya tidak hanya hubungan manusia dengan Allah SWT, tetapi mencakup hubungannya dengan sesama manusia dan alam semesta.
“Hubungan manusia dengan Allah SWT diatur dalam bentuk hukum-hukum tentang ibadah, hubungan manusia dengan sesamanya, dan alam sekitarnya diatur dalam tata hukum muamalah,” ungkapnya.
Pesan itu disampaikan Kiai Miftachul Akhyar saat membuka Workshop Pra Ijtima Sanawai Dewan Pengawas Syariah (DPS) 2021, Senin (4/10).
Kegiatan ini akan berlangsung mulai tanggal 4-11 Oktober 2021, dan diikuti oleh sekitar 500 peserta dari semua bidang DPS, seperti Lembaga Keungan Syariah (LKS), Lembaga Bisnis Syariah (LBS), dan Lembaga Perekonomian Syariah (LPS).
Ketua DSN-MUI ini juga menuturkan, hubungan yang menyangkut ibadah diatur dengan nash-nash yang qath’I (jelas, pasti). Sebab, tidak menyentuh kepentingan lahiriah manusia dan bersifat ghair ma’qul ma’na (tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia).
Oleh karena itu, lanjutnya, hal itu harus diterima apa adanya sebagaimana telah ditentukan oleh nash itu sendiri.
“Manusia tidak dapat menentukan bentuk ibadah lain, selain yang telah ditentukan oleh nash,” jelasnya.
Kiai Miftach menambahkan, hal ini sering dinamakan juga bahwa hukum dalam ibadah bersifat ta’abbudi, atau manusia tidak diberi wewenang untuk mengembangkan atau memperbaruinya.
Mengenai nash-nash dalam bidang mu’amalah, Rois Aam PBNU itu menjelaskan bahwa sebagian besar nash-nash tersebut bersifat zhanni (tidak pasti), karena mengandung prinsip-prinsip umum tentang hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
“Nash-nash dalam bidang muamalah Sebagian besar berupa nash yang zhanni dan berupa prinsip-prinsip umum,” ujarnya.
Untuk itu, kiai Mif mengingatkan bahwa ada peluang bagi manusia untuk melakukan Ijtihad.
Karena, lanjutnya, kandungan dalam bidang muamalah merupakan sesuatu yang dapat dijangkau dan dianalisis oleh pikiran manusia (ma’qul ma’na).
“Dalam bidang muamalah terdapat peluang bagi manusia untuk melakukan pembaruan, sejalan dengan sifat sosial yang tidak terlepas dari perubahan,” paparnya.
Untuk itu, kata dia, kegiatan ekonomi, keungan, dan bisnis yang merupakan bagian dari fikih mu’amalah maliyyah, peran ijtihad menjadi bagian yang sangat penting.
“Secara umum, ijtihad dapat dikatakan sebagai upaya berfikir secara optimal dan sungguh-sungguh dalam menggali hukum islam dari sumbernya, untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang timbul di masyarakat,” pungkasnya.(Sadam Al-Ghifari/Angga)