JAKARTA— Ada saja ulah oknum yang mempermainkan syiar-syiar Islam termasuk adzan. Kasus teranyar terjadi di luar negeri. Mnet, sebuah program televisi di Korea Selatan melalukan remix terhadap potongan adzan. Tak elak, aksi ini pun menuai protes keras dari warganet dunia.
Sebenarnya, apa hukum mempermainkan adzan? Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Mukti Ali Qusyairi, mengatakan adzan merupakan kalimat sakral karena terdapat kalimat jalalah yang menganggungkan Allah SWT.
Kiai Mukti menjelaskan, salah satu kalimat jalalah dalam adzan seperti Allahu Akbar yang artinya, Allah Mahabesar. Selain itu, adzan juga memiliki fungsi di antaranya untuk memanggil umat Islam agar sholat berjamaah, dan mengumandangkan syiar Islam, karena itu, adzan tidak boleh dipakai untuk main-main atau bahkan diucapkan yang bukan pada tempatnya.
Kiai Mukti menuturkan, kalimat jalalah seperti pada adzan ini tidak boleh diucapkan di tempat-tempat kotor seperti kamar mandi, toilet, tempat kemaksiatan dan lain-lain. Apalagi sangat tidak patut dan tidak pantas apabila diucapkan di tempat-tempat seperi clubbing atau tempat dugem, yang mana di sana adalah tempat untuk bermaksiat seperti meminum minuman keras atau khamar.
Selain itu, dia juga menyayangkan aksi di salah satu program di TV Korea Selatan yang menayangkan program yang meremix adzan dalam music DJ, hal itu dinilai sangat merendahkan karena adzan tidak pantas dijadikan instrumen music DJ, apapun alasan dan niatnya.
Hal ini juga diperkuat para ulama fiqih di dalam kitab-kitab fiqih salabus shaleh lafdul jalalah, yang mengatakan dengan tegas bahwa kalimat jalalah tidak boleh dipermainkan dan diucapkan di tempat-tempat kotor.
Meskipun dalam konteks kasus yang terjadi di Korea Selatan, Kiai Mukti menerangkan bahwa kita memang harus melihat dengan dua kemungkinan. Apakah benar-benar adzan yang diremix? Atau hanya menyerupai adzan? Karena hal itu juga akan berbeda dalam menyikapinya sesuai perspektif Islam.
Dalam pengamatan Kiai Mukti, meskipun TV Korea Selatan sudah meminta maaf dan bersedia mencabut dalam edarannya. Dia juga mengingatkan, sebagai umat Islam, bila ada yang meminta maaf harus dimaafkan.
Meskipun ada catatan yang bisa diambil bukan hanya bagi umat Islam, tetapi semua pemeluk agama agar bisa menghargai dan menghormati nilai-nilai sakral di antara umat beragama sangat penting, karena di atas semua perdamaian ada kerukunan.
Kiai Mukti menuturkan, apabila terjadi dan tidak segera diselesaikan, kemudian saling ego untuk mempertahankan diri tanpa meminta maaf, hal ini bisa berujung pada konflik yang sangat disayangkan. “Hal-hal sensitif seperti ini harus dihindari bagi siapapun,” ujar dia sembari mengingatkan dampaknya, bisa kemana-mana bahkan bisa merusak hubungan diplomatik antarnegara, hubungan dagang, investasi, dan sebagainya.
Kiai Mukti juga mengingatkan kepada umat Islam, wajib hukumnya untuk menghormati agama non Muslim, terutama nilai-nilai sakral yang dihormati oleh non Muslim. Umat Islam harus menghormati dalam arti tidak boleh menyinggung, sehingga tidak menyakiti perasaan non Muslim. Hal itu diperkuat firman Allah SWT dalam surat Al Anam ayat 108:
وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Artinya: ‘’Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan merekalah Kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.’’
Kiai Mukti menerangkan, ayat ini sangat jelas bagi umat Islam bahwa tidak boleh mencela, membully, dan melecehkan Allah SWT dengan permusuhan dan tanpa ilmu pengetahuan. Jadi, bisa berdampak saling berbalas dendam dan ini sangat diharamkan. (Sadam Al-Ghifari/Nashih)