JAKARTA – Banyak yang mempertanyakan, pada kondisi darurat seperti apa sehingga MUI mengeluarkan fatwa kebolehan vaksin-vaksin tertentu? Apa yang kemudian membedakan darurat dan tidak darurat? Mengapa MUI sampai memutuskan darurat? Apa pertimbangannya?
Ragam pertanyaan itu bermunculan di tengah umat, mengingat ada vaksin yang difatwakan haram oleh MUI, tetapi dibolehkan karena kondisi tertentu.
Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, membeberkan alasan MUI membolehkan penggunaan vaksin karena darurat lil haajah.
Menurutnya, selain data kasus kematian Covid-19 di Indonesia yang tinggi, MUI memiliki basis argumentasi yang kuat sehingga memutuskan boleh.
Pria yang juga Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora ini menjelaskan, saat melakukan sidang pleno (bersama), sebelum memutuskan fatwa vaksin, Komisi Fatwa MUI Pusat menghadirkan beberapa ahli dari berbagai bidang sekaligus. Dikatakan Asrorun, para ahli berasal dari Kementerian Kesehatan, ahli epidemologi, sampai petinggi PT Biofarma.
“Selain melihat data Covid-19 Indonesia, MUI juga meminta keterangan dari Kemenkes baik tertulis maupun non tertulis terkait lima poin, ” ujarnya saat memberikan materi dalam FGD Kefatwaan MUI Kalimantan Tengah, Sabtu (04/09).
Poin pertama, kata Kiai Niam, MUI menanyakan sejauh mana level mendesaknya penggunaan vaksin untuk penanganan wabah. Kedua, lanjut dia, MUI menanyakan sejauh mana risiko dan bahaya yang ditimbulkan jika segera tidak segera dilakukan vaksinasi.
“Ternyata, risiko bahayanya jika tidak dilakukan vaksinasi segera, maka akan terjadi penularan dan juga penghentian-nya menjadi lambat. Itu penjelasan epidemologi, ” katanya.
Dia melanjutkan, MUI kemudian menanyakan sejauh mana dan seberapa besar ketersediaan vaksin yang halal dan suci. Dan keempat, MUI menanyakan kepada Biofarma kebenaran vaksin Sinovac yang halal dan suci tidak mencukupi untuk kebutuhan herd immunity. Terakhir, MUI menanyakan sejauh mana jaminan keamanan yang diberikan pemerintah terhadap vaksin.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan bahwa Biofarma sebagai pihak yang langsung bekerjasama dengan Sinovac Life Science untuk memproduksi vaksin Sinovac, memastikan kapasitas produksi vaksin sinovac hanya mampu maksimal 200 juta. Sementara kebutuhan vaksin secara keseluruhan di Indonesia mencapai 490 juta. Artinya, vaksin yang halal tidak akan cukup untuk mencapai herd immunity.
“Biofarma memberikan jawaban tegas bahwa mereka tidak mampu mencukupi persediaan karena memang barangnya tidak ada. Kapasitas produksi di tingkat global tidak mungkin untuk menggenjot kebutuhan vaksiansi di Indonesia yang besar, ” ungkapnya.
Semua jawaban ahli mulai dari ahli epidemologi, ahli KementerianKesehatan, petinggi Biofarma, sampai ahli dari BPPOM, menegaskan bahwa memang ada kondisi darurat di Indonesia.
Atas penjelasan tersebut, Sidang Komisi Fatwa MUI memfatwakan kebolehan vaksin Covid-19 karena kondisi darurat.
Kiai Niam menyebutkan bahwa penentu kondisi kedaruratan itu bukan MUI, namun dari para ahli di berbagai bidang termasuk Biofarma.
“Pertanyaan itu kami sampaikan kepada para ahli. Kami di Komisi Fatwa mengikuti jawaban para ahli tersebut. Atas dasar itulah fatwa memutuskan kebolehan karena darurat. Siapa lagi yang kita pegang kalau tidak para ahli? Masa kita pegang informasi Medsos yang tidak jelas kebenarannya? ” pungkasnya. (Azhar/Angga)