JAKARTA— Pandemi Covid-19 selain berimbas pada kesehatan, juga pada kondisi ekonomi banyak orang. Dengan fasilitas yang serba mudah dan tanpa jaminan, Perusahaan Pinjaman Online (Pinjol) menjadi tawaran menarik masyarakat yang membutuhkan dana cepat dan mudah.
Cukup mengunduh aplikasi, melakukan pendaftaran, memfoto KTP sambil Selfie, tidak berselang lama pinjaman langsung cair. Namun Pinjol ini juga menyimpan risiko yang besar. Baru-baru ini ramai di sosial media sosial tentang pengguna Pinjol yang bunuh diri diduga karena dikejar Debt Collector Pinjaman Online. Sebelumnya juga ramai tentang data nasabah yang disebarkan ke seluruh kontak di hpnya bahwa yang bersangkutan belum melunasi hutang.
Ketua MUI Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, KH Sholahuddin Al Aiyub, menyampaikan Pinjol memang menyimpan risiko yang besar di kedua pihak, baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman. Tanpa menyelidiki profil calon nasabah dan tanpa ada jaminan, perusahaan penyedia Pinjol berisiko mengalami kredit macet yang besar.
Peminjam juga berisiko karena kerap menyetujui tanpa membaca “syarat dan ketentuan” yang banyak dan hurufnya kecil. Padahal di dalamnya tertuang ketentuan seperti bunga maupun konsekuensi bila pinjaman tidak dilunasi sesuai waktu yang disepakati.
“Oleh karena itu, penting dilakukan literasi kepada masyarakat agar memahami lebih teliti perusahaan fintech untuk memenuhi kebutuhannya. Penting memberikan literasi kepada masyarakat agar harus mempelajari syarat dan ketentuan sebelum menyetujui pinjaman, ” ujarnya saat dihubungi MUIDigital, Rabu (01/09).
Dia menyampaikan, setelah bertemu dengan Asosiasi Fintech dan Pembiayaan Indonesia (AFPI) Selasa (31/08) kemarin, beberapa Pinjol yang bermasalah dan meresahkan pada proses penagihan adalah Pinjol ilegal. Dari ribuan Pinjol yang ada, hanya 73 yang sudah mengantongi izin OJK.
“Saat ini ada 116 perusahaan Fintech yang terdaftar di OJK. 73 di antaranya telah mengantongi izin. Artinya, operasional perusahaan-perusahaan tersebut telah diawasi OJK sehingga relatif lebih aman. Tetapi di tengah masyarakat, banyak lembaga fintech yang tidak terdaftar dan tidak berizin, ” ujarnya.
Literasi Fintech khususnya Pinjol ini perlu terus digalakkan. Karena bagaimanapun, dalam kondisi ekonomi terdesak, seseorang akan kalut dan langsung menyetujui ketentuan dan syarat Pinjol. Keputusan itu tanpa mengindahkan risiko kemudian hari bahwa seluruh kontak telepon yang bersangkutan akan dikirimi broadcast bahwa yang bersangkutan belum membayar.
“Pinjaman Online saat ini merupakan fenomena yang tak terhindarkan. Setelah setahun pandemi, karena banyak yang kendala ekonomi, tentu akan lebih besar lagi demand terhadap pinjol. Sementara banyak masyarakat belum bisa terlayani oleh lembaga keuangan pada umumnya. Peluang itulah yang kemudian ditangkap oleh perusahaan fintech, termasuk pinjaman online, ” ujarnya. (Azhar)