JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia bidang Ekonomi Syariah dan Halal, Drs. KH. Sholahudin Al Aiyubi, MA mengungkapkan bahwa sertifikat halal menguntungkan produsen.
Alasannya, bahwa sertifikat sertifikat halal pada hakikatnya adalah fatwa tertulis tentang kehalalan produk tertentu, baik makanan, minuman dan produk kosmetik. Sertifikat halal tidak bisa dipandang sebagai administratif.
Pernyataan itu ia sampaikan pada forum Webinar Sertifikasi Halal dan Perpanjangannya di Masa Pandemi pada Rabu (1/9) yang diselenggarakan oleh Lembaga Advokasi Halal Indonesia Halal Watch.
Menurut kiai kelahiran Pati, Jawa Tengah itu, jaminan halal tersebut bertujuan untuk melindungi keyakinan umat Islam dalam mengkonsumsi suatu produk pangan.
“Sertifikat halal itu pada hakikatnya adalah fatwa tertulis, (artinya) sertifikat halal adalah masalah keagamaan. Semua proses dalam rangkaian bisnis di dalam jaminan produk halal, endingnya adalah penetapan suatu produk halal atau tidak,” ungkapnya pada sesi pemaparan materi melalui Zoom meeting.
Menurut Kiai yang juga pengurus Dewan Nasional Syariah MUI itu, proses penetapan halal tidaknya suatu produk, dimulai dari pendaftaran, penetapan standar halal sebagai acuan penelaahan yang menjadi domain BPJH. Lalu verifikasi dan auditing (pengawasan) dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI), hingga akhirnya ditetapkan Komisi Fatwa MUI.
Ditekankan Kiai Salahudin terbit tidaknya sertifikat halal merupakan rangkaian penting dari upaya menjaga kepentingan umat. Di antara hal penting dari proses sertifikasi halal adalah disematkannya tanda halal.
Menurutnya, tanda halal penting untuk konsumen muslim, sebab tanda itu memudahkan dalam memilih dan memilah produk mana yang dikonsumsi dan diyakini kehalalannya.
“Mengapa hal ini (tanda halal) menjadi penting, karena memang dalam ajaran Islam, harus memilih dan memilah bahwa apa yang dikonsumsi diyakini kehalalannya,” ungkapnya lebih lanjut.
Menurut Kiai yang pernah dinobatkan sebagai Tokoh Syariah tahun 2018 oleh Majalah Investor itu, perintah untuk mengkonsumsi makanan yang halal secara eksplisit tertera pada Alqur’an. Tepatnya pada Surah Al-Baqarah ayat 168: يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ.
“Makanlah apa yang direzekikan di bumi ini pada kalian yang halal dan yang thayyib (baik),” jelasnya.
Perintah tersebut, lanjut Kiai Salahudin, penting untuk umat muslim lakukan dengan memastikan barang yang dikonsumsi adalah halal. Namun menurutnya, cukup sulit untuk mengetahui sebuah produk halal atau tidak tanpa adanya tanda halal secara perorangan.
“Sulit bagi orang per orang menelusuri kehalalan suatu produk dari sisi bahan maupun proses. Oleh karena itu, umat muslim perlu untuk mendapatkan perlindungan melalui tanda halal. Jadi tanda halal itu merupakan upaya perlindungan terhadap keyakinan umat Islam dalam mengonsumsi suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika,” pungkasnya lebih lanjut. [Dimas/Angga]