JAKARTA — Wakil Presiden RI, Prof. Dr. KH. Maruf Amin mengungkapkan bahwa dalam penetapan usia perkawinan harus mempertimbangkan kesiapan mental dan reproduksi anak, bukan berfokus pada angka usia saja. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya ancaman pernikahan yang disebabkan karena kurangnya kesiapan mental dan minim edukasi, seperti ancaman kesehatan reproduksi, kematian dalam persalinan, KDRT, dan menghasilkan generasi stunting.
Hal ini ia ungkapkan dalam Seminar dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Anak Majelis Ulama Indonesia, Kamis (18/03) yang dilaksanakan secara virtual melalui Zoom.
“Usia perkawinan jangan hanya dilihat dari sisi bolehnya saja, tapi juga mempertimbangkan kematangan individu baik secara fisik dan mental, dan mengedepankan tujuan perkawinan yakni kemaslahatan,” ungkap dia.
Tingginya angka pernikahan anak juga menjadi sumbangsih tersendiri terhadap faktor perceraian dini dewasa ini. Ini disebabkan karena usia anak di bawah 19 tahun secara psikologis belum memiliki kesiapan mental yang cukup untuk memulai bahtera rumah tangga. Pernikahan yang dilaksanakan tanpa persiapan yang matang baik secara psikis dan biologis, memiliki kemungkinan lebih besar kepada terciptanya keluarga yang tidak harmonis dan bahagia, bahkan sampai berujung pada perceraian.
“Jadi kematangan ini harus dimaknai secara kualitatif, matang secara fisik dan mental,” ungkapnya.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini juga menyampaikan bahwa pendidikan dan penanaman kesadaran berumah tangga perlu diberikan kepada para calon pengantin melalui konseling pra nikah, dan konseling hal ini menjadi lebih penting setelah ada temuan tingginya angka perceraian. Dalam konseling tersebut nantinya para calon pengantin akan diajarkan berbagai macam hal krusial dalam dunia perkawinan.
“Dalam konseling nanti diajarkan misalnya tujuan perkawinan, hak dan kewajiban, serta cara untuk saling memahami pasangan, kesehatan reproduksi, dan kehamilan, kesehatan ibu dan anak, dsb,” ucap dia. (Nurul/Din)