JAKARTA – Direktur DSN MUI Institute Ah Azharuddin Lathif menyampaikan, fatwa terbaru DSN MUI tentang Perubahan Aset dan Liabilitas dari Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah muncul untuk merespon Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 68 UU tersebut menyatakan, Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) dengan aset minimal 50% dari total aset bank induknya atau 15 tahun sejak 2008, wajib melakukan pemisahan unit usaha syariah menjadi Bank Umum Syariah.
“Dengan begitu, pada tahun 2023 nanti, seluruh UUS harus spin off atau dipisah menjadi entitas bisnis tersendiri menjadi anak perusahaan Bank Konvensional. Pilihan lainnya, mengkonversi Bank Konvensional tersebut menjadi Bank Syariah,” katanya saat dihubungi mirror.mui.or.id, Kamis (23/07).
Sejak UU tersebut disahkan, kata dia, bermunculan konversi Bank Konvensional menjadi Bank Syariah. Konversi itu terjadi baik dari sisi kelembagaan maupun dari sisi aset dan liabilitas.
Dia mengatakan, selama sepuluh tahun terakhir, dari sisi kelembagaan, setidaknya ada empat model konversi Bank Konvensional menjadi Bank Syariah.
Model pertama, kata dia, konversi kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah seperti di Bank Mandiri Syariah yang sebelumnya merupakan PT Bank Susila Bakti.
Sedangkan model kedua, konversi Unit Usaha Syariah pada Bank Konvensional spin off menjadi Bank Syariah. Status Bank Syariah itu kemudian adalah entitas tersendiri yang terpisah dari Induknya.
Model ketiga, imbuh dia, yaitu konversi Unit Usaha Syariah bersama Induknya yang Bank Konvensional menjadi Bank Syariah. Kasus seperti ini terjadi pada beberapa Bank Pembangunan Daerah seperti Bank NTB Syariah dan Bank Aceh Syariah. Dalam waktu dekat, Bank Nagari dan Bank Kepri Riau juga akan menyusul skema serupa.
Sementara model ke empat terbilang cukup unik. Bank Konvensional yang memiliki UUS mengakuisisi Bank Konvensional lain untuk dikonversi menjadi Bank Syariah. Setelah itu, Bank Syariah hasil akuisisi tersebut dimerger dengan UUS milik Bank Konvensional induk tadi. Contoh ini terjadi pada Bank BRI Syariah.
Dosen Hukum Ekonomi Syariah UIN Jakarta ini menyampaikan, konversi bank syariah di lapangan masih menyisakan masalah. Dalam proses konversi itu, belum ada keseragaman penerapan prinsip syariah. Itu pula yang melatarbelakangi fatwa ini muncul.
“Dalam kenyataanya, proses konversi entitas (lembaga) atau portofolio (aset dan liabilitas) konvensional menjadi syariah pada perbankan tersebut masih belum ada keseragaman dari sisi penerapan prinsip syariah, baik dalam hal penggunaan skema akad, tata cara konversi, maupun dalam hal standard yang digunakan untuk pengakuan aset konvensional menjadi aset syariah, sehingga ada keraguan pemangku kepentingan karena belum ada back up fatwa ini,” katanya. (Harun/Anam)