JAKARTA – Prosentasi Umat Islam di Indonesia dalam catatan lembaga statistik mencapai 87%. Apabila terbangun persatuan umat atau ukhuwah Islamiyah, maka 87% masalah persatuan dan kesatuan Indonesia selesai.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Muhadjir Effendy dalam program Ngobrol Pintar (Ngopi) di TV MUI, Rabu (24/06) malam. Sayangnya, menurut Muhadjir, umat Islam saat ini belum mampu membangun ukhuwah itu.
“Kalau persatuan dan kesatuan umat ini terbangun, berarti 87% urusan persatuan dan kesatuan Indonesia sudah selesai. Itu menjadi tanggung jawab semua orang. Jangan sampai orang hanya melihat aspek perbedaan, apalagi itu menjadi alat untuk memecah kalangan umat Islam sendiri,” ujarnya.
“Tanpa ukhuwah Islamiyah, saya yakin tidak terbangun ukhuwah wathaniyah (persatuan bangsa) di Indonesia,” tegasnya.
Dalam program yang dipandu Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis itu, dia menyampaikan, jalan menguatkan ukhuwah Islamiyah antara lain adalah dengan merancang kurikulum inti lintas ormas dan pesantren. Inti dari kurikulum tersebut bukan mempertajam perbedaan antar umat yang menggerus solidaritas, namun menguatkan solidaritas.
“Kita perlu saling terbuka di dalam merangcang kurikulum. Kurikulum yang mengembangkan semangat ukhuwah Islamiyah. Lembaga pendidikan Islam duduk bersama membuka kurikulumnya, terutama kurikulum pendidikan keislamannya. Di situ harus ada konten kurikulum inti, yang mengembangkan kepada semangat ukhuwah Islamiyah,” katanya.
Melalui jalur pendidikan pula, Mantan Menteri Pendidikan ini telah mencontohkan ajaran ukhuwah Islamiyah di dalam keluarganya. Dia sengaja menyekolahkan anaknya ke pesantren yang berafiliasi dengan NU padahal dia berasal dari Muhammadiyah.
“Makanya jangan heran kalau saya menyekolahkan anak saya di NU yang basisnya NU. Yang penting masih berbasis Islam, karena bagi saya yang penting Islam dulu kalau yang lain itu belakangan saja,” kata dia.
Bagi dia, latar belakang ormas seperti NU maupun Muhammadiyah, hanyalah label. Dualisme antara pesantren dan sekolah umum, menurut dia, sudah tidak relevan lagi. Beberapa lembaga pendidikan sudah mencampurkan kurikulum dan mengkompromikan perbedaan di dalamnya.
“Sekarang orang tidak risih lagi menyekolahkan anak di sekolah maupun pondok pesantren. Itu akhirnya soal pilihan, dan pilihan tidak harus selalu mempertimbangkan organisasi atau aliran, itulah justru cara paling bagus membangun kesatuan umat,” katanya.
“Agenda MUI adalah bagaimana menyusun kurikulum bersama yang menekankan aspek ukhuwah Islamiyah itu,” imbuh dia. (Azhar/Anam)