JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia menyampaikan taujihat atau imbauan yang berisi penjelasan tentang Fatwa Nomor 05 Tahun 2020. Taujihat tentang Shalat Jum’at di Era Tatanan Kehidupan Normal baru tersebut, tutur Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat KH Asrorun Niam Sholeh, merupakan penjelasan khusus kepada Fatwa MUI nomor 05 tahun 2000.
“Taujihat MUI itu disusun sebagai bayan (penjelasan) atas fatwa nomor 05 tahun 2000 (Tentang Pelaksanaan Salat Jum’at Dua Gelombang) pada saat masyarakat membutuhkan bayan untuk memahaminya,” katanya.
Selanjutnya, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 31 Tahun 2020. Fatwa ini, tutur Kiai Niam, secara khusus memberikan panduan dan penjelasan secara utuh terkait pelaksanaan shalat Jum’at dan jamaah pada saat terjadi pandemi Covid-19 seperti sekarang.
“Komisi Fatwa telah melakukan pembahasan fatwa terkait pelaksanaan Jum’at dan jamaah saat Covid-19, salah satunya mengatur teknis pelaksnaaan Jumat ketika penerapan physical distancing berdampak pada berkurangnya space dan daya tampung,” ujarnya.
“Fatwa nomor 31 tahun 2020 ini memberi panduannya, prinsipnya jumatan dilakukan sekali di satu masjid dan seterusnya sebagaimana diktum yang tertulis,” imbuhnya.
Sementara itu, Fatwa MUI Nomor 05 Tahun 2000, yang menjadi acuan taujihat tersebut, menyebutkan bahwa pelaksanaan shalat Jum’at dua gelombang di tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak sah, walaupun terdapat udzur syar’i. Fatwa tersebut juga berisi bahwa orang Islam yang tidak dapat melaksanakan shalat Jum’at disebabkan suatu udzur syar’i maka diwajibkan melaksanakan shalat zuhur.
“Sementara bagi jamaah yang datang terlambat dan tidak mendapat tempat di masjid serta tidak menemukan tempat shalat jumat yang lain, atau dalam kondisi adanya alasan yang dibenarkan syariah, maka wajib menggantinya dengan shalat dzuhur, sebagaimana Fatwa MUI Nomor 5 Tahun 2020,” ungkap Wakil Sekretaris Jenderal MUI KH. Zaitun Rasmin kala membacakan Taujihat tersebut, Kamis (04/06) siang di Gedung MUI Pusat, Jakarta.
Saat membacakan taujihat tersebut, Kiai Zaitun mengatakan, hukum asal dari shalat Jum’at adalah sekali saja dan hanya dilakukan di satu Masjid di setiap kawasan serta dilakukan dengan segera tanpa menunda waktu.
“Dalam kondisi dharurah atau kebutuhan mendesak, misalnya jauhnya jarak antara tempat penduduk dan masjid atau menampungnya kapasitas masjid karena kepadatan penduduk di suatu wiayah, maka dalam kondisi seperti itu diperbolehkan mengadakan shalat Jum’at di lebih dari satu masjid,” katanya.
Dia menambahkan, para ulama dari zaman ke zaman tidak memilih opsi shalat Jum’at dua gelombang atau lebih di tempat yang sama, mereka sudah membolehkan shalat Jum’at di lebih dari satu masjid di satu kawasan bila ada keadaan yang mendesak seperti ini.
Masih berdasarkan taujihat untuk Fatwa Nomor 05 Tahun 2000 itu, dia menyatakan kebolehan melaksanakan shalat Jumat dua gelombang atau lebih di satu tempat yang sama, kata dia, tidak relevan diterapkan di Indonesia karena beberapa sebab.
Pertama, kata dia, pendapat tersebut didasarkan pada dalil syariah yang lemah dan menyelisihi pendapat mayoritas (jumhur) ulama.
Kedua, imbuh dia, kalaupun kebolehan tersebut terjadi di negara Eropa, Amerika, maupun Australia, tidak lantas bisa dijadikan dalil untuk juga diterapkan di Indonesia karena situasi dan kondisinya berbeda.
“Di negara-negara tersebut, umat Islam merupakan minoritas dan sangat sulit mendapatkan izin tempat untuk melaksanakan shalat Jum’at, serta tempat yang ada tidak bisa menampung jumlah jama’ah, sehingga tidak ada alternatif lain bagi mereka selain mendirikan shalat Jum’at secara bergelombang di tempat yang sama,” katanya.
Apa yang terjadi di negara-negara luar negeri tersebut, menurut taujihat ini, tidak terjadi di Indonesia. Umat Islam di Indonesia mempunyai kebebasan mendirikan shalat Jum’at di tempat manapun yang memungkinkan didirikannya shalat Jum’at. Selain alasan syar’i, pelaksanaan shalat Jum’at dua gelombang atau lebih di satu tempat juga berpotensi besar menimbulkan masalah prosedur kesehatan penanganan Covid-19.
“Untuk menunggu giliran shalat Jum’at gelombang berikutnya tidak ada tempat yang aman dan memadai untuk menunggu, justru berpeluang terjadinya kerumunan yang bertentangan dengan protokol kesehatan,” paparnya kala menutup pembacaan taujihat tersebut. (Azhar/Din)