PANGKALPINANG– Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. Huzaemah Tahido Yanggo menyampaikan bahwa Islam Wasathiyyah adalah jawaban permasalahan. umat saat ini. Menurutnya, umat saat ini menghadapi banyak kendala seperti praktek tektualisme agama dan rasionalisme ajaran agama yang berlebihan. Agama juga menghadapi kendala persaudaraan di kalangan umat yang tidak maksimal dan ketegangan antara pemeluk agama dan masyarakat adat. Masalah lainnya, kata dia, munculnya sekularisme, ekstremisme dan terorisme, sinkretisme, ta’asshub, disorientasi makna toleransi.
“Menyikapi realitas tersebut, diperlukan adanya pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan dan diperuntukkan bagi semua umat beragama yang dapat menjaga kelangsungan hidup bersama dalam kerukunan dan solidaritas yaitu dengan mengamalkan Islam Wasathiyyah,” katanya saat mengisi Kongres Umat Islam Indonesia sesi Islam Wasathiyyah, di Hotel Novotel, Pangkalpinang, Bangka Belitung, Jumat ( 28/02).
Prof Huzaemah menyampaikan, Wasathiyyah merupakan paradigma pengkhidmatan di lingkungan MUI selama ini. Melalui konsep ini, diharapkan bisa mengembalikan gerakan keislaman yang mengambil jalan tengah, berkeseimbangan, lurus dan tegas, toleransi, egaliter, mengedepankan musyawarah, berjiwa reformasi, mendahulukan yang prioritas, dinamis dan inovatif, serta berkeadaban.
Menurutnya, MUI selama ini telah berusaha menyuarakan konsep ini melalui beberapa fatwanya. MUI menyadari bahwa tidak mungkin melaksanakan konsep ini sendirian. Pihak-pihak lain diperlukan dalam mengarusutamakan Islam Wasathiyyah khususnya dalam konteks berbangsa dan bernegara.
“Agar cita-cita luhur seperti adil, makmur, religius, dan baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur dapat terwujud,” ungkapnya.
Selama ini, imbuh Prof. Huzemah, MUI dalam beberapa fatwanya secara tidak langsung sudah membahas Islam Wasathiyyah. Misalnya pada tahun 2012 dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia, MUI membahas prinsip-prinsip wasathiyyah. Ijtima Ulama Komisi Fatwa Tahun 2003 juga menjelaskan secara rinci tentang terorisme sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara dan merugikan masyarakat.
“Tindakan terorisme seringkali mengatasnamakan jihad yang dicita-citakan membawa pelakunya ke surga, dari Fatwa MUI kita dapat membedakan antara pengertian teror dan jihad,” katanya.
Selain dua fatwa tersebut, pada Tahun 2005, MUI juga mengeluarkan fatwa tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama yang menyatakan bahwa liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama dengan menggunakan akal pikiran yang bebas dan hanya menerima doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran mereka semata. Sementara pada tahun 2006, dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa dengan melibatkan 750 ulama seluruh Indonesia, menyepakati bahwa NKRI dengan Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara merupakan kesepakatan bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya umat Islam.
Dia menambahkan, agar Islam Wasathiyyah tersebut bisa sesuai dengan cita-cita Umat Islam Indonesia, maka perlu ada beberapa strategi. Pertama, kata dia, adalah intensifikasi pendidikan (Tafaqquh fid Din) melalui penguatan lembaga pesantren maupun pendidikan formal mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Strategi kedua, bingkai kerukunan di Indonesia seperti bingkai teologis, bingkai sosiologis-kemasyarakatan, bingkai politik-kebangsaan, maupun bingkai yuridis harus dikuatkan.
“Ketiga, menolah praktik-praktek ajaran yang menagrah pada radikalisme, liberalisme, sinkretisme, dan sekularisme agama baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun umat beragama, serta terakhir penguatan karakteristik ormas-ormas Islam dan ulama sebagai pemilik otoritas keagamaan,” paparnya. (Azhar/Din)