Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, Abdurrahman Mas’ud menyampaikan bahwa umat beragama, khususnya umat Islam, sedang terombang-ambing di dalam dua kutub ekstrem cara beragama. Dua kutub itu lahir, salah satunya, akibat residu politik pasca Pemilihan Presiden dan Kepala Daerah beberapa waktu lalu. Residu itu, kata dia, juga hidup karena gagapnya umat dalam merespon era industri 4.0 serta keengganan mengenali kelompok yang berbeda.
“Dinamika umat beragama di Indonesia masih menyisakan residu politik praktis beberapa waktu yang lalu, baik tingkat nasional maupun lokal. Meskipun pesta demokrasi sudah selesai, namun semangat persaudaraan kebangsaan belum sepenuhnya dapat dibangun secara utuh. Hal ini juga disebabkan oleh perbedaan dalam memandang peran agama dalam pembangunan sosial,” kata dia di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Rabu (15/01) dalam kegiatan Forum Group Discussion Pra Kongres Umat Islam Indonesia dalam tema Keagamaan.
Pria yang kerap disapa Rahman ini mengungkapkan, masalah-masalah seperti ini perlu ditopang dengan moderasi beragama. Selama ini, Kementerian Agama sudah menggulirkan program moderasi beragama, namun pihaknya merasa belum cukup. Kelompok muslim mayoritas yang umumya moderat harus bersuara agar suasana keislaman di Indonesia menjadi lebih baik lagi. Sekaligus mengetengahkan kondisi yang sedang digiring ke ekstrem kiri dan ekstrem kanan.
Guru besar UIN Walisongo ini mengatakan, kelompok Islam moderat yang selama ini diam namun jumlahnya mayoritas (silent majority) ini harus mulai mengisi kanal-kanal digital. Kanal tersebut tidak boleh dibiarkan hanya diisi oleh kalangan ekstrem kanan atau kiri. Kalau tidak, maka kondisi tidak ideal bagi perkembangan umat dan bangsa ini akan terus terjadi.
“Silent majority di Indonesia yang berhaluan moderat perlu bersuara lebih keras. Mereka mayoritas namun lebih memilih diam sehingga perlu didorong agar bersuara lebih keras lagi,” kata dia.
Menambahkan apa yang dikatakan Rahman, Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi, KH. Abdullah Jaidi menuturkan, bagaiamanapun masalah khilafiah (perbedaan) sampai dunia ini berakhir tidak mungkin bisa diselesaikan. Namun, dia menilai bahwa kita harus berusaha sebisa mungkin untuk tidak memunculkan ceramah-ceramah atau dakwah yang memicu gesekan di tengah masyarakat.
“Bagaimana upaya kita untuk merajut dengan memberikan kesadaran supaya para penceramah dan dai tidak menimbulkan gesekan di tengah umat,” katanya.
Senada dengan itu, Ketua MUI Bidang Penelitian dan Pengkajian, Prof. Maman Abdurrahman mengungkapkan, masalah khilafiah akan tetap berjalan karena dasarnya adalah keyakinan masing-masing, sehingga sukar disatukan. Namun hal tersebut tidak bisa menjadi alasan untuk saling mencaci antar sesama.
“Kita memang sangat sulit untuk menyelesaikan, namun bagaimanapun harus saling menghargai satu sama lain. Tidak boleh saling mencaci-maki dan ini harus dihentikan,” ungkap mantan Ketua Umum PP PERSIS ini. (Azhar/Thobib)