JAKARTA— Panitia Kongres Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 bersilaturahim ke Harian Republika. Dalam silaturahim tersebut, panitia menyampaikan persiapan kongres yang digelar di di Hotel Novotel Pangkal Pinang, Bangka Belitung 26-29 Februari 2020 itu.
Ketua Pelaksana Kongres, Ustaz Muhammad Zaitun Rasmin, mengatakan tema utama yang diangkat dalam kongres ini adalah “Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Maju, Adil dan Beradab.”
“Kongres ke -7 ini akan dihadiri 700 peserta di antaranya dari pengurus MUI pusat hingga daerah, ormas Islam, perguruan tinggi, pesantren dan pemangku kebijakan lainnya,”ujar dia saat berkunjung ke Kantor Republika, Selasa (7/1).
Menurut Zaitun, penyelenggaraan kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang bermanfaat untuk umat Islam. Jika kongres sebelumnya hanya membahas masalah yang sedang terjadi, nantinya Kongres ini akan membahas strategi jauh ke depan terkait masalah umat Islam yang akan dihadapi di 50 tahun yang akan datang.
MUI memilih Bangka Belitung sebagai lokasi kegiatan karena, provinsi ini menjadi salah satu destinasi wisata halal friendly yang sedang berkembang. Sehingga dengan adanya kegiatan ini dapat mengenalkan provinsi yang tergolong baru dimekarkan ini kepada umat Islam di Indonesia.
Zaitun juga bersyukur karena pemerintah propinsi Bangka Belitung mendukung penuh penyelenggaraan kegiatan ini. Nantinya dalam acara ini akan dilakukan diskusi kelompok dengan berbagai tema yang berkaitan dengan ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan budaya.
Sementara itu, Ketua Panitia Pengarah Kongres Umat Islam Indonesia ke-7, Buya Anwar Abbas mengatakan akan membahas strategi umat Islam agar dapat mengimbangi kemajuan Indonesia di 2040-2050.
“Kongres sebelumnya kami hanya membahas seputar ekonomi, politik, dan budaya, tetapi kini melihat lanskap Indonesia rasanya simbol keislaman mulai terkikis,” ujar dia.
Ketika Indonesia menjadi negara maju, besar dan adikuasa, timbul pertanyaan apakah akan terjadi kesenjangan ekonomi dan perpolitikan. Saat ini Indonesia masih berkutat pada demokraris prosedural bukan substansial.
Umat Islam di Indonesia saat ini mencapai 87,17 persen dari populasi secara keseluruhan. Tetapi faktanya, dalam perpolitikan dan ekonomi masih menjadi minoritas.
“Saya menghitung dalam angka penduduk yang duduk di tingkat elite strategis, hanya 10 persen umat Islam yang menguasai ekonomi, sisanya adalah etnis atau umat lain,” ujar dia.
Demikian halnya di dunia pendidikan, saat ini masih minim lulusan yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan, dibandingkan etnis lain. “Saya berpikir kita perlu belajar dari mereka mengenai etos kerja. Jepang dan Korea misalnya, mereka memiliki nasionalisme yang tinggi, mereka memiliki kebanggaan dengan produk yang dihasilkan negara mereka,” kata dia.
Begitu juga dengan China, ketika Anwar pergi ke negata tersebut dia tidak menemukan produk impor dengan harga murah. Masyarakat umum lebih banyak menggunakan produk dalam negeri mereka. (Republika/Nashih)