JAKARTA — Undang-undang No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal akan mulai berlaku besok tepatnya tanggal 17 Oktober 2019. Tepat lima tahun pasca undang-undang ini disahkan, UU ini harus dijalankan. Namun pemberlakuan besok hanya berlaku pada produk makanan dan minuman. Sementara produk obat-obatan karena prosesnya yang lebih rumit, baru berlaku pada tahun 2021.
Wakil Ketua Umum MUI, Buya Zainut Tauhid Sa’adi memaparkan, MUI sejak lama mendukung berlakunya UU JPH ini. Karena bagaimanapun, MUI dari awal ikut menyusun UU JPH tersebut. MUI, kata dia, juga mengikuti asas yang berlaku untuk mengikuti undang-undang yang telah berlaku. Dari awal, MUI memandang bahwa pemberlakuan UU JPH ini merupakan bentuk kehadiran negara dalam melindungi rakyatnya dalam hal penjaminan produk halal di Indonesia.
“Spirit lahirnya UU JPH harus dimaknai bahwa negara hadir dalam penjaminan produk halal di Indonesia, implikasinya adalah adanya pembagian pemerintah dan MUI dalam penyelenggaraan sertifikasi halal,” katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (16/10).
Lahirnya UU JPH ini memberikan dua implikasi. Pertama, pendaftaran sertifikasi halal yang awalnya voluntary (sukarela) kini menjadi mandatory (wajib). Implikasi berikutnya, proses sertifikasi halal yang dulunya hanya melibatkan MUI dengan LPPOM dan Komisi Fatwanya kini melibatkan lebih banyak pihak. Tidak hanya MUI, kini juga ada Badan Pemeriksa Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama sebagai pihak utama dan juga Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) lain di luar MUI. Tugas MUI menurut UU JPH saat ini ada tiga yaitu penetapan fatwa produk halal melalui Komisi Fatwa, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), serta Sertifikasi Auditor. LPPOM MUI yang tadinya menjadi lembaga utama dalam proses sertifikasi halal, setelah undang-undang ini berlaku, maka statusnya menjadi Lembaga Pemeriksa Halal.
“Sesuai ketentuan UU JPH pasal 10 ayat (1), MUI diberikan peran melakukan sertifikasi auditor, penetapan fatwa produk halal, dan akreditasi lembaga pemeriksa halal. Selain itu LPH tetap menjalankan peran melakukan pemeriksaan produk halal,” katanya.
Buya Zainut berharap, BPJPH sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan layanan sertifikasi halal dapat segera melakukan langkah-langkah koordinatif dan stretegis. Pasalnya, bukan hanya di tingkat pusat, proses sertifikasi produk halal saat ini juga di tingkat daerah dan melibatnya banyak stakeholder. Dengan langkah koordinatif itu, maka masyarakat tidak lagi bingung dengan proses sertifikasi halal saat ini.
“Berharap BPJPH untuk segera melakukan langkah strategis, koordinatif, integratif, dan singkronisasi kegiatan dengan stakeholder halal khususnya MUI agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi di tengah masyarakat,” katanya. (Azhar/Din)