RAJA AMPAT – Usulan pembangunan Museum Moderasi Agama di Papua muncul di sela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (23/11).
Hal itu mengemuka sebagai rekomendasi hasil penelitian keagamaan di Papua Barat dalam buku “Buku Moderasi Beragama Islam Berbasis Kearifan Lokal di Papua Barat”. Karya ini merupakan riset yang dilakukan selama tujuh bulan oleh Cahyo Pamungkas (LIPI), Sekretaris Komisi Kajian MUI Rida Hesti Ratnasari, dan Teguh (Kejaksaan Agung RI).
Rida menjelaskan Moderasi beragama Islam berbasis kearifan lokal, sudah ada di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di Papua. Di Papua moderasi Islam sudah berlangsung ratusan tahun, sejak Islam masuk pada awal abad ke-15, tidak ditemukan catatan konflik yang terjadi antarmasyarakat.
“Kehadiran kelompok masyarakat sipil (civil society) dianggap penting untuk membantu merekatkan masyarakat yang majemuk di Indonesia,“ kata Rida.
Proses moderasi beragama, menurut Rida, bukan menggeser pokok-pokok ajaran agama, menyamarkan, atau menghilangkannya. Moderasi beragama membawa spektrum berbagai kelompok yang berseberangan menuju satu titik tengah win-win solution, menang-menang bersama, sebagai solusi.
Dia menyebutkan titik ini dikenal sebagai moment produktif, kepentingan lebih besar daripada kepentingan individu dan kelompok tertentu.
“Moderasi itu menggeser yang terlalu ke kiri dan terlalu ke kanan menjadi ketengah, untuk menjaga kepentingan kelompok yang lebih besar,“ jelas Rida.
Jejak moderasi beragama, lanjut dia, terekam dalam keseharian masyarakat di Papua Barat, seperti contoh Mushala di Pulau Lemon yang dipindahkan tiga kali, direlakan dengan besar hati umat Islam.
Dia mengatakan, umat Islam menghargai kepentingan negara yang hendak menggunakan lahan mushala untuk perkantoran dan gedung lainnya. Namun justru sekarang dibangun lebih besar dan permanen menjadi Masjid Merdeka di Manokwari.
Selain itu, ungkap dia, jejak naskah dan peninggalan sejarah Islam di Papua Barat ditemukan lebih dari 84 item. Hal ini menunjukkan tradisi tulis dalam pembelajaran Islam telah ada sejak sebelum abad ke-15. Naskah dan peninggalan sejarah jejak moderasi beragama Islam masih disimpan oleh sebagian ahli waris pendakwah Islam.
“Ada 84 bukti sejarah dari mulai Alquran yang ditulis di pelepah daun dan berbagai tulisan lain di kayu dan naskah yang dipegang para ahli waris, sebagai bukti moderasi beragama,“ kata dia.
Dia menegaskan, kondisi ini menuntut peran serta pemerintah untuk ikut menjaga bukti dan peninggalan sejarah tersebut. Sebab itulah, selain saran pembangunan Museum, pihaknya merekomendasikan memasukkan materi moderasi agama ini menjadi pelajaran sekolah mulai dari PAUD, SD, SMP, dan SMA di Provinsi Papua Barat,“ tutup Rida.(Ichwan/Nashih)