Jakarta – Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menerbitkan fatwa terbaru tentang Uang Elektronik Syariah dan Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi (IT) Berdasarkan Prinsip Syariah. Dua fatwa ini merupakan bagian dari 13 Fatwa Terbaru Tahun 2018 yang disosialisasikan di Jakarta, Senin (23/07).
Fatwa tentang Uang Elektronik Syariah (Fatwa No: 116/DSN-MUI/IX/2017) dan Fatwa tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah (Fatwa No:117/DSN-MUI/II/2018) merupakan kelompok fatwa yang terkait dengan aktivitas dan produk lembaga keuangan syariah (LKS) dan lembaga bisnis syariah (LBS).
Fatwa tentang Uang Elektronik Syariah (Fatwa No: 116/DSN-MUI/IX/2017); di antaranya mengatur hubungan hukum di antara para pihak yang terlibat dalam transaksi uang elektronik dan prinsip umum yang wajib dipatuhi pada saat melakukan transaksi uang elektronik.
Ditekankan dalam fatwa tersebut bahwa akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik adalah akad wadi’ah atau akad qardh; Akad yang dapat digunakan penerbit dengan para pihak dalam penyelenggaraan uang elektronik (prinsipal, acquirer, Pedagang [merchant], penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesai akhir) adalah akad ijarah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah; dan Akad antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital adalah akad ijarah, akad ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah.
Berikutnya, penyelenggaraan dan penggunaan uang elektronik wajib terhindar dari transaksi yang ribawi, gharar, maysir, tadlis, risywah, dan israf; dan transaksi atas objek yang haram atau maksiat. Lalu, jumlah nominal uang elektronik yang ada pada penerbit harus ditempatkan di bank syariah; dan dalam hal kartu yang digunakan sebagai media uang elektronik hilang maka jumlah nominal uang yang ada di penerbit tidak boleh hilang.
Sementara itu fatwa tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah (Fatwa No:117/DSN-MUI/II/2018) mengatur ketentuan umum prinsip syariah dalam kegiatan fintech dan ragam produk yang dapat dijalankan, antara lain, Penyelenggaraan Layanan Pembiayaan berbasis teknologi informasi tidak boleh bertentangan dengan prinsip Syariah, yaitu antara lain terhindar dari riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, dan haram.
Berikutnya, akad yang digunakan oleh para pihak dalam penyelenggaraan Layanan Pembiayaan berbasis teknologi informasi dapat berupa akad-akad yang selaras dengan karakteristik layanan pembiayaan, antara lain akad al-bai’, ijarah, mudharabah, musyarakah, wakalah bi al ujrah, dan qardh.
Ragam produk yang dapat dijalankan oleh penyelenggara layanan pembiayaan berbasis teknologi, antara lain pembiayaan anjak piutang (factoring); Pembiayaan Pengadaan Barang pesanan Pihak Ketiga (Purchase Order); Pembiayaan Pengadaan barang untuk pelaku usaha yang berjualan secara online (online seller); Pembiayaan pengadaan barang untuk pelaku usaha yang berjualan secara online dengan pembayaran melalui penyelenggara payment gateway; Pembiayaan untuk Pegawai (Employee), dan Pembiayaan berbasis komunitas (community based). (Red: Anam)