Senin (25/6) siang, suhu kota Baghdad diperkirakan sekitar 45 derajat. Informasi ini disampaikan pilot pesawat Turkish Airlines dari ruang kopkit menjelang landing di Baghdad International Airport. Hawa yang cukup panas, tentu saja, bagi yang biasa hidup di iklim tropis seperti kami, para delegasi International Conference on Wasathiyah Islam di Banghdad.
Pengumuman tersebut menambah berat perasaan kami hingga semakin gundah seiring munculnya kekhawatiran tentang keamanan di kota itu. Jantung seakan tidak berhenti berdegup kencang karena sebentar lagi kami menginjakkan kaki di negeri yang masih rawan konflik tersebut.
Satu hal lagi yang membuat nyali semakin ciut dan perasaan tidak menentu karena Irak belum lama lepas dari bayang-bayang teror mengerikan kelompok bersenjata ISIS. Kita semua tahu bagimana kejamnya ISIS yang memperjuangkan khilafah dengan cara kekerasan, seperti membantai musuh dengan memenggal, menggantung, membakar, menembak, dan lain-lain. Juga, berdasarkan bacaan di mana masih ada sisa-sisa perang saudara dan pertentangan panjang nan rumit antar kelompok Sunni-Syi’ah pasca Saddam digulingkan Amerika dan sekutunya beberapa tahun yang lalu.
Tidak lama setelah mendarat, kami pun dijemput oleh panitia konferensi yang mengenakan identitas dengan jas resmi lengkap. Ada pula yang memakai kafeyah dan baju resmi khas Arab bersama tim dari KBRI yang standby sejak awal. Kesan yang mendalam bagi kami karena mereka sangat friendly dan helpfull.
“Assalamualaikum. Ahlan wa sahlan bi hudlurikum fi Baghdad,” begitu mereka menyambut kami depan pintu.
Kami pun langsung diminta naik mobil jemputan yang sudah disiapkan. Begitu duduk di jok mobil terasa nyaman dan “nyes” setelah merasakan suhu di luar. Mobil lalu berhenti di suatu tempat yang masih dalam kawasan bandara dan kami dipersilahkan turun untuk menunggu di sebuah ruang penyambutan tamu asing sambil menanti proses pemeriksaan imigrasi dan bagasi.
Ruangan yang cukup mewah, dengan ornamen khas yang dilengkapi beberapa kursi di pinggir kanan kiri dan bendera Irak di depan. Memori kami kemudian teringat pada sebuah tempat yang sering digunakan mantan presiden Irak, Saddam Hossen, saat menerima tamu kehormatan di masa kejayaannya.
Selang beberapa waktu menunggu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju hotel tempat kami diinapkan. Kami pun dikawal ketat oleh tentara Irak dengan mobil bak terbuka yang di atasnya ada beberapa tentara dengan senjata berat mengokang siap tembak. Mereka mengiringi mobil kami di depan dan di belakang dengan kecepatan tinggi.
Namun demikian, mobil kami yang dikawal tentara lengkap, toh tetap harus melewati 8 (delapan) check point untuk keluar dari kawasan bandara. Setiap pos keamanan, kami harus berhenti dan dicek beberapa saat untuk memastikan kami semuanya aman memasuki kawasan steril.
Selepas melewati check point, mata kami pun berkesempatan melihat-lihat langsung kondisi Baghdad terkini. Sekira 15 menit, kami sampai di hotel tujuan, Royal Tulip, Al-Rasheed. Hotel yang berada di kawasan Green Zone, wilayah yang dipastikan sangat aman karena berada di lingkungan perkantoran pemerintah Irak dengan status keamanan tingkat tinggi.
Ziarah ke Makam Ulama
Meski kondisi tubuh sangat lelah setelah perjalanan panjang lebih dari 18 jam termasuk transit di Turki, kami tidak bisa langsung istirahat di hotel. Kami diberi waktu beberapa saat oleh Tim KBRI untuk bebersih dan berganti baju untuk selanjutnya melakukan agenda yang lain.
Mengingat agenda yang cukup padat, kami dijadwalkan KBRI agar dapat ziarah ke beberapa makam ulama di kota Baghdad. Sebuah kesempatan emas, tentu saja, karena Baghdad dikenal sebagai tempat lahirnya para nabi, ulama madzhab, auliya, dan cendekiawan muslim terkenal. Ziarah, bagi muslim merupakan rangkaian ritual keagamaan yang sangat penting sebagai bagian dari media pengingat kematian dan pembelajaran akhlak mulia dari ulama yang diziarahi.
Sebelum melanjutkan perjalanan menuju tempat ziarah, kami terlebih dulu dibawa tim pendamping menuju kantor KBRI, tidak jauh dari kawasan Green Zone untuk bertemu dengan Dubes RI, Bambang Antarikso. Meski hanya sejenak, bertegur sapa, dan bersalaman karena kesibukan Dubes, setidaknya kami tahu lokasi KBRI yang sempat tutup selama 8 tahun selama perang teluk II. Kami memaklumi karena agenda seorang Dubes tentu banyak, apalagi sebentar lagi ada event Asian Games yang dilangsungkan di tanah air (Jakarta-Palembang) yang diikuti oleh bangsa-bangsa Asia, termasuk Irak.
Menurut Sang Dubes, lokasi gedung KBRI memang sengaja berada di luar kawasan Green Zone untuk alasan khusus. Jika berada di kawasan yang sangat steril itu, maka aksesnya akan sangat sulit bagi orang-orang yang membutuhkan pelayanan KBRI, seperti warga Indonesia di Irak, khususnya para TKI yang bermasalah. Namun, meski di luar Green Zone, tempat itu masih dekat dengan bandara yang memudahkan urusan jika ada hal-hal darurat, seperti keamanan.
Perjalanan untuk ziarah akhirnya dimulai. Kami bertuju ditemani satu orang staf KBRI menggunakan mini bus travel meluncur dengan dikawal ketat tentara Irak di depan dan di belakang dengan mobil bak terbuka dilengkapi senjata mengokang menuju situs-situs makam penting.
Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah makam Shaikh Abdul Qadir al-Jailani. Bagi sebagian besar umat Islam Indonesia sudah sangat akrab dengan nama itu. Bahkan namanya menjadi idola sebagian Salik di seluruh dunia. Beliau adalah tokoh yang sangat dihormati di kalangan pengamal tarekat Qadiriyah dengan julukan “sulthanul auliya” atau raja para wali Allah.
Area pemakamannya sangat luas, dan tidak semua orang bisa masuk ke area makam bagian dalam karena dijaga petugas khusus. Untuk menuju pintu utama harus melewati check point yang ditunggu aparat keamanan bersenjata. Bangunannya dikelilingi tembok tinggi dan terdapat beton-beton tebal anti peluru demi keamanan seperti lokasi vital lain.
Satu hal yang menarik di dekat pintu masuk gerbang utama ada tulisan belakang Shaikh Abdul Qadir al-Kailani bukan al-Jailani. Sempat bertanya-tanya, sebenarnya yang benar al-Jailani atau al-Kailani? Menurut salah seorang penerima tamu, mungkin seorang tokoh setempat, keduanya sama-sama benar.
Saat ingin memasuki area dalam, terdapat hamparan luas semacam serambi, terdapat payung-payung ala masjid Nabawi, dengan ornamen warna coklat. Begitu sampai di lokasi pasarean (makam) terdapat ruang sekira 4×4 meter untuk para peziarah yang berdoa, berlantai karpet merah, dan teks-teks Arab dalam kaca yang salah satunya berisi info tentang silsilah Shaikh Abdul Qadir al-Kailani hingga nabi Muhammad.
Karena kami adalah tamu resmi negara, kami dibukakan pintu makam bagian dalam, tempat dibaringkannya waliyullah Shaikh Abdul Qadir a-Kailani. Ruangan denga aroma minyak wangi yang khas, dengan ornamen yang memiliki nilai peradaban tinggi, mengkilap warna putih perak dan biru, di kanan, kiri, dan atas (atap). Tempat pembaringannya berbentuk cungkup melengkung yang ditutup oleh kaca dengan besi-besi stainless yang sangat kokoh. Di sekeliling pusara itu terdapat begitu banyak tumpukan uang kertas dan logam mata uang dinar dan dolar berceceran yang ditaruh oleh para peziarah.
Selepas kami memanjatkan doa dan ta’dzim atas kebesaran spitual sang auliya, kami segera meninggalkan tempat setelah sebelumnya berfoto-foto ria. Hanya saja, sama seperti makam ulama beken di tanah air masih ada saja para pengemis di sekitar makam. Mereka mendatangi kami satu persatu dengan menengadahkan tangan sambil bilang: hajji hajji, shadaqah shadaqah, miskin miskin.
Bertemu Ulama Fikih Irak
Perjalanan pun dilanjutkan. Konteksnya masih sama, ziarah kubur. Destinasi kedua, kami dijadwalkan menuju makam ulama besar mazhab fikih Sunni, Imam Abu Hanifah sebagai pendiri Mazhab Hanafi. Bagi kami, Imam Abu Hanifah adalah imam mazhab yang menjunjung tinggi rasionalitas melalui pendekatan qiyas dan istihsan (setelah Alquran, Sunnah, dan Ijma’).
Sebagaimana makam Shaikh Abdul Qadir al-Jailani, pembaringannya berada dalam sebuah kompleks yang sangat luas dan menjadi satu kesatuan dengan Masjid yang sangat luas. Ruang makamnya memang tidak sebagus makam Shaikh Abdul Qadir al-Jailani, posisinya berada di samping kiri masjid, dengan ornamen yang lebih sederhana. Ruangannya sekitar 4×4 meter, dengan karpet merah di bawahnya.
Selesai berdoa, kami sudah ditunggu oleh seorang ulama Dr Abdul Sattar Abdul Jabbar, pimpinan tertinggi “Majma’ Fiqih al-Iraqy” atau Pusat Perhimpunan Ulama Fikih Irak. Kantornya berada di sebelah kanan depan masjid yang masih satu lanskap kompleks pemakaman Imam Abu Hanifah, sehingga kami cukup berjalan kaki menuju ke sana. Gedung berwarna kuning tua tidak terlalu besar.
Saat kami tiba sudah ditunggu beliau di depan pintu bersama staf-stafnya. Di ruang tunggu, ada beberapa orang yang duduk menunggu, mungkin ingin bertemu dengan pimpinan atau ada urusan lain. Seperti biasa, kami disambut dengan ramah oleh tuan rumah sambil berangkulan ala tradisi Arab. Kami dipersilahkan duduk dalam sebuah ruangan yang cukup besar dengan kursi-kursi melingkar yang didesain khusus untuk menerima tamu, dengan bendera organisasi Majma’ Fiqih Iraq yang terpasang rapi.
Selama pertemuan, kami berbincang panjang lebar, penuh gelak tawa tapi serius. Shaikh Sattar memulai dengan menceritakan tentang Majma’ Fiqih Iraq. Delegasi Indonesia dipimpin oleh KH Muhyiddin Junaidi dari MUI, dan Dr Mukhlis M Hanafi, MA wakil Menag. Materi obrolan terus berlanjut sekitar kondisi negara masing-masing, khususnya terkait dengan dinamika politik, sejarah, dan kehidupan umat beragama mutakhir di Irak dan Indonesia.
Sekira 45 menit bertamu dengan disuguhi teh khas Arab dan orange juice kemasan, kami melanjutkan perjalanan spiritual menuju makam Shaikh Junaid Al-Baghdadi atau Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandi al-Baghdadi. Bagi para pengamal tasawuf, nama ini sangat tidak asing. Bisa disebut tokoh tasawuf yang sangat masyhur setelah Shaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Dibandingkan dengan dua makam sebelumnya, kondisi makam Shaikh Junaid Al-Baghdadi nampak kurang terawat dan lokasinya agak jauh dari keramaian. Bangunannya nampak kurang tertata rapi. Di sekitar bangunan utama bahkan ada ruangan kosong yang kurang terurus. Seperti tidak banyak orang yang mengunjungi di tempat ini dan kekurangan biaya untuk merawatnya.
Beberapa saat untuk berdoa bersama, tim melanjutkan ke sebuah pemakaman umum yang kondisinya sangat memprihatinkan. Banyak puing-puing batu bata berserakan, lantai yang kotor, dan kondisi bangunan yang sudah amat tua dan rusak. Ada dua bangunan utama, sebelah kiri tertulis makam Nabi Yusya’ bin Nun, dan sebelah agak masuk ada Shaikh Bahlul Ibnu Amir al-Tashrifi. Shaikh Bahlul adalah salah seorang tokoh alim yang nyeleneh seperti Abu Nawas, sehingga ada sebutan (laqab) buruk bagi orang-orang yang nampak aneh.
Di penghujung sore itu jam menunjukkan jam 17.15. Karena hari mulai mendekati malam, kami menyudahi petuangan spiritual dan menuju kantor KBRI untuk melanjutkan agenda berikutnya, yaitu memenuhi undangan Dubes dalam acara jamuan makan malam di sebuah restoran yang lumayan jauh dari KBRI.
Konferensi Internasional
Agenda utama kehadiran delegasi Indonesia adalah mengikuti Konferensi Internasional tentang Islam Wasathiyah dan Moderasi Beragama. Tujuan penting dari kehadiran ini adalah Indonesia ikut berkontribusi kepada dunia, khususnya Irak akan pentingnya mempraktikkan moderasi beragama yang tidak berada pada titik ekstrem kanan dan kiri.
Sesuai jadwal yang diberikan panitia, konferensi akan dimulai pada jam 10.00 waktu Baghdad dan pada jam 09.00 pagi seluruh delegasi asing harus sudah standby di lobby hotel, Royal Tulip Al-Rasheed, tempat semua delegasi 20 negara diinapkan.
Tepat jam 09.00 kami seluruh delegasi dipersilahkan naik ke bus mewah yang telah disiapkan panitia setelah sebelumnya seluruh perlengkapan konferensi diberikan, seperti ID Card dan tas yang berisi bahan-bahan, ballpoint, dan block-note.
Jarak tempuh dari hotel Royal Tulip sampai lokasi konferensi sekitar 30-45 menit. Lumayan jauh karena berada di luar kawasan Green Zone. Seperti biasa, pengamanan tingkat tinggi diberlakukan mengingat bus membawa seluruh delegasi asing yang beresiko keamanan. Tempat yang dituju adalah markas besar Dewan Wakaf Sunni Irak, sebuah organisasi beraliran Sunni yang berafiliasi dengan pemerintahan Irak.
Untuk menuju ke sana setelah perjalanan yang melewati bagian kota Baghdad harus melewati gerbang utama yang dipasang blok-blok beton tebal anti peluru. Di sekeliling kawasan markas dijaga oleh puluhan tentara Irak dengan senjata berat dan tank-tank, serta disiapkan ambulance jika ada hal-hal yang tidak diinginkan. Kompleks markas terhitung sangat luas, yang dikelilingi tembok tebal dengan sekian banyak check point untuk sampai di jantungnya. Di dalamnya bangunan masjid besar dan megah serta museum yang berisi tentang perjuangan zaman Nabi. Di sekitar lokasi dijaga oleh tentara berseragam plus senjata lengkap untuk mengawasi gerak gerik orang sekitar.
Sesampainya di gedung utama, kami dipersilahkan memasuki ruangan besar dengan desain seperti teater. Di depan terdapat panggung dengan spanduk besar dan mencolok, yang menandakan bahwa acara segera dimulai. Kapasitasnya pun cukup besar, sekitar 2000 orang yang sudah penuh sesak dari para peserta yang ingin mengikuti pembukaan acara.
Tibalah saatnya pembukaan konferensi internasional yang diawali dengan pembacaan ayat suci Alquran. Saat memberikan sambutan, Ketua Dewan Wakaf Sunni Irak, Dr Abdul Latief al-Humaim menyampaikan tentang nama besar kota Baghdad sebelumnya. Kota yang sangat masyhur sebagai pusat peradaban Islam masa lalu. Tempatnya lahirnya para Nabi, ulama hadits, imam mazhab fikih, para sufi terkenal dan auliya, dan masih banyak tokoh hebat dunia lainnya. Karena itu, Abdul Latief memberi catatan bahwa Baghdad dan Irak secara umum akan bangkit setelah sekian lama terpuruk akibat perang dan perselisihan.
Pada kesempatan setelahnya, PM Irak Dr Haidar al-‘Abbadi menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada seluruh peserta, khususnya delegasi asing yang memberikan masukan-masukan positif untuk membangun Irak di masa depan. Irak saat ini secara umum sudah aman dan mulai ada spirit untuk bangkit pasca perang dan kekalahan ISIS. Menurutnya, dalam waktu 2 atau 3 tahun ke depan Irak akan kembali normal dan bangkit mengejar ketertinggalan dari negara dan bangsa lain.
Acara dilanjutkan dengan presentasi dari perwakilan-perwakilan dari delegasi konferensi untuk menyampaikan tentang Islam Wasathiyah dan Moderasi Beragama. Semua delegasi menyatakan bahwa watak dari Islam pada hakikatnya adalah wasathiyah atau moderat, menghargai berbagai perbedaan, dan bisa hidup berdampingan dengan komponen lain secara damai dan harmoni.
Hasil dari konferensi ini lalu dirangkum dalam bentuk Deklarasi Baghdad yang disampaikan di penghujung acara. Inti dari deklarasi tersebut mengandung pesan pokok agar seluruh ulama sedunia mendorong dan menerapkan konsep Islam wasathiyah dengan segala instrumennya sebagai pondasi pokok dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan menyerukan persaudaraan internasional terkait dengan posisi Yarusalem sebagai ibukota Arab dan mengutuk klaim Israel sebagai ibu kotanya secara sepihak.
Dus, selama wira-wiri di kota Baghdad, kami berkesempatan memasang mata, tengok kanan-kiri, sambil jeprat jepret kamera untuk mencermati dan mengabadikan situasi kota Baghdad terkini, termasuk menyaksikan sungai Tigris yang amat terkenal itu. Terlihat banyak bangunan bekas yang tidak terpakai, ada reruntuhan gedung, berdiri blok-blok beton tebal anti peluru, dan keadaan yang masih nampak berantakan. Kondisi ini karena sebab Irak dilanda perang, baik saat pendudukan Amerika maupun perang saudara, termasuk melawan ISIS. Namun demikian, sebagian tempat mulai nampak menggeliat dengan munculnya pembangunan kembali gedung-gedung baru. Tempat-tempat keramaian mulai banyak dikunjungi warga, seperti pasar, toko, dan jalan-jalan raya.
Kami mencatat bahwa setelah melihat langsung situasi kota Baghdad, khususnya iklim sosial dan psikologis melalui event konferensi internasional ini menunjukkan bahwa kota Baghdad telah berubah dan menunjukkan arah yang menggembirakan. Secara umum dalam kondisi aman, dibawah kendali pemerintahan yang sah menunjukkan kebangkitan negeri Irak pasca perang dan kekalahan ISIS. Para pemimpin Irak mencoba memberitahukan kepada dunia bahwa Irak berangsur-angsur pulih, dan bisa bekerja sama dengan dunia luar untuk meraih masa depan yang gemilang. Wallahu a’lam.
Thobib Al-Asyhar
(Wakil Ketua Komisi Infokom MUI Pusat, salah satu delegasi Indonesia dalam Konferensi Internasional tentang Islam Wasathiyah dan Moderasi Beragama di Baghdad, Irak)