BALIKPAPAN– Hubungan ulama dan umara harus bersinergi pada posisinya masing-masing. Pemerintah wajib menciptakan keteraturan sedangkan ulama memberi nilai langit dalam pemerintahan.
Penegasan ini disampaikan Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis, PhD merespons upaya sebagian kalangan yang mendikotomikan ulama dan umara. “Ulama dan umara jangan saling berjauhan karena sama merindukan untuk kebaikan keduanya,” kata dia saat memberikan ceramah kunci dalam Sosialisasi Peta dan Pedoman Dakwah di Balikpapan, Kalimantan Timur Selasa (24/4).
Dia menjelaskan harmoni agama dan kebangsaan menjadi sesuatu yg niscaya. Agama membutuhkan kekuasaan untuk menciptakan keteraturan. Demikian juga negara membutuhkan agama agar negara mempunyai nilai peradaban dan kemanusiaan.
Kiai Cholil Nafis mengutip apa yg diungkapkan Imam Abu Hamid al-Ghazali. Tokoh yang bergelar hujjatul Islam itu menyatakan bahwa agama dan kekuasaan itu bagai saudara kembar. Agama adalah fondasinya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu yg tanpa fondasi dan dasar, akan rapuh dan roboh. “Demikian juga sesuatu yang tak ada penjaga akan mudah hilang digondol maling,” seloroh Kiai Cholil yang diiringi tawa para peserta.
Kiai Cholil mengaitkan hubungan agama dan negara dalam konteks Indonensia. Menurut dia, jangkar penyokong NKRI itu adalah kaum religius dan kaum nasionalis. Jika hubungan keduanya itu retak, tak mustahil sebelum 2030 Indonesia berpotensi bubar. Namun jika hubungan kaum nasionalis bersinergi dengan kaum religius, sangat mungkin pada 2045, atau bertepatan satu abad kemerdekaan, Indonesia akan mancapai masa keemasan.
(Ahmad Zubaidi/Nashih)