Catatan KH M Cholil Nafis, Ph.D
(Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat)
Jakarta — Kamis, 12 April 2018, saya mendampingi Ketua Umum MUI, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, menerima tamu dari PB Al Khairiyah, Banten. Ada Ketua Umum Al Khairiyah, Ali Mujahidin, dan Wakil Ketua, Alwiyan Q Syam’un, di Kantor MUI, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam silaturrahim itu, mereka ingin berdiskusi dan memberi support kepada Kiai Ma’ruf berkenaan dengan situasi terkini.
Menurut Ali Mujahidin, Al Khairiyah selalu mendukung kebijakan MUI. Sebab dalam pandangan Ali, ulama dalam mengambil langkah, selain memiliki argumentasi keagamaan, juga mempunyai bashirah (mata batin). Termasuk sikap Kiai Ma’ruf memaafkan Sukmawati yang diduga menista agama melalui puisi, dan mengajak umat Islam untuk memaafkan. Al khiriyah tak rela ulama diperlakukan tidak terhormat apalagi sampai dicaci maki.
Kiai Ma’ruf Amin menjelaskan, mengapa ia memaafkan Ibu sukma, karena telah mengaku bersalah dan meminta maaf. Maka, memaafkan adalah cara terbaik untuk sarana dakwah dari pada mengedepankan fikih hokum, apalagi fikih siyasah. Menurut kaidah: Salah karena memaafkan lebih baik dari pada salah menetapkan hukum. Inilah konsep kehati-hatian dalam penerapan syariah.
Berkali-kali Kiai Ma’ruf menjelaskan, sikapnya untuk memaafkan dan harapannya agar umat juga memaafkan, dan “kalau bisa” (ini frase yang digunakan Kiai Ma’ruf), agar tidak menuntut secara hukum, sama sekali tidak menghalangi hak warga negara yang hendak memproses secara hukum. Sebab, pengaduan proses hukum adalah hak warga negara dan kewenangan penegak hukum
Setelah diskusi kasus Sukma, diteruskan dengan diskusi tentang kerangka pemahaman Islam wasathy sebagai kerangka dasar untuk memandu umat yang moderat. Islam wasathy itu untuk menengahi pemahaman Islam yang literalis, tektualis dan rigid, di satu sisi, dan pemahaman Islam yang liberal dan bebas tanpa batas, di sisi lain. Dari dua kutub pemahaman agama itu, kadang melahirkan pahama ekstrem kanan dan ekstrim kiri.
Kerangka Islam wasathy itu harus dinamis (tathawwur), kata Kiai Ma’ruf, mengikuti perkembangan zaman dan mengakomodir perkembangan teknologi, namun tetap menjagai esensi nilai dan prinsip agama. (AS)