Jakarta – Pasca meletusnya kasus pelarangan azan yang melibatkan umat Islam dan Kristiani di Sentani, Jayapura belum lama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan pertemuan dengan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Kantor MUI, Jakarta Pusat Selasa (20/03) sore.
Pada sore itu, Ketua Umum MUI KH. Ma’ruf Amin, Wakil Ketua Umum MUI Buya Zainut Tauhid Sa’adi, Sekjen MUI Buya Anwar Abbas, serta beberapa dewan pimpinan harian MUI berunding dengan Ketua Umum PGI Pdt Dr. Henrietta Tabita Lebang.
Buya Zainut Tauhid Saadi, setelah acara tersebut menerangkan ada empat kesepakatan antara MUI dan PGI.
Pertama, kedua belah pihak menyetujui agar masalah di Sentani, tidak boleh merebak ke daerah lain. Sehingga tidak memicu permasalahan yang lebih luas.
“Kedua belah pihak setuju bahwa persoalan yang terjadi di Sentani, Papua harus dilokalisir menjadi persoalan daerah dan jangan sampai berkembang di daerah lain, ” ujar Buya Zainut.
Agar terwujudnya hal ini, baik MUI maupun PGI berusaha menyelesaikan masalah ini secara cepat melalui dialog antar tokoh agama, dengan tetap menjunjung musyawarah, toleransi dan kekeluargaan.
Kedua, MUI dan PGI mengimbau semua pihak menahan diri dan tidak mudah terprovokasi.
“Mengimbau kepada semua pihak untuk menahan diri, tidak terpancing dan terprovokasi oleh pihak-pihak yang sengaja ingin membuat kekacauan dengan memanfaatkan kasus ini, ” kata Buya Zainut.
Selanjutnya, MUI dan PGI menyepakati usulan-usulan penyelesaian yang nanti akan disampaikan kepada tim perunding melalui jalur komunikasi organisasi masing-masing.
Terakhir, MUI dan PGI berharap pemerintah setempat aktif membantu penyelesaian masalah yang sedang terjadi di Sentani.
“Meminta kepada pemerintah daerah untuk secara aktif membantu proses penyelesaian masalah secara damai, adil dan beradab, ” katanya.
Sebelum pertemuan ini, Buya Zainut mengingatkan bahwa kemerdekaan Indoneaia tercipta karena usaha bersama seluruh elemen bangsa. Maka perasaan merasa lebih berhak dari golongan lain, tidak boleh ada.
“Karena hal itu dapat merusak dan menciderai nilai-nilai persaudaraan kebangsaan yang selama ini kita hormati dan kita junjung tinggi, ” ungkapnya.
Kebhinekaan, lanjut Buya Zainut, adalah berkah yang patut disyukuri. Dengan hidup damai, saling menolong, dan bekerjasama, otomatis kita akan mensyukuri kebhinekaan.
“Beragama adalah perintah Tuhan yang paling hakiki, dan setiap warga negara diberikan hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu, ” tuturnya. (Azhar)