JAKARTA– Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta memberikan penjelasan kuat terkait pelarangan cadar di lingkungan kampus tersebut.
“Tentu kita harus mendengar dulu kenapa cadar itu dilarang, ” kata Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (6/3).
Menurut Kiai Ma’ruf, masyarakat harus mendengarkan dulu aspek atau alasan apa sehingga pihak UIN Sunan Kalijaga melarang penggunaan cadar.
“Bahwa bercadar itu bagus menurut Islam, tapi ada gangguan apa (di UIN Sunan Kalijaga), itu yang kita harus tahu dulu, ” ujarnya.
Kiai Ma’ruf mencontohkan alasan yang masuk akal seperti masalah perawat perempuan muslim di rumah sakit. Meskipun tangan aurat, tapi untuk tujuan kemudahan pelayanan dan menghindari bakteri, maka boleh saja menggulung pakaian di tangan lebih ke atas.
“Di rumah sakit itu kan ribut karena tangannya harus agak ke atas. Ternyata itu supaya itu dalam pelayanannya tidak ada yang mengangggu, tidak ada bakteri yang menempel, nah itu berarti ada alasannya, ” paparnya.
Sekretaris Jenderal MUI, Buya Anwar Abbas, menyayangkan pelarangan tersebut. Dia berpendapat pelarangan cadar bertentangan dan tak sejalan UUD 1945 yang menyebutkan negara menjamin kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk menganut dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
“Jadi kalau ada sebuah lembaga yang melarang kemerdekaan itu berarti dia membuat kebijakan yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Jadi batal demi hukum aturan itu,” tutur dia.
Sementara itu, Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Chalil Nafis mengingatkan bila memang pelarangan cadar untuk mencegah merebaknya radikalisme di lingkungan kampus, hal tersebut harus dibuktikan. Bukti tersebut harus berdasarkan pada penelitian.
“Kalau radikalisme menjadi alasan pelarangan niqab atau cadar tentu perlu dibuktikan hasil risetnya,” kata dia, Kamis.
Lebih lanjut Kiai Cholil menjelaskan penggunaan cadar ini masuk ranah fikih khilafiyah (perbedaan pendapat)terkait aurat perempuan.
Dia mengutip pendapat sejumlah ulama. Di antaranya pendapat Ibn Jabir yang boleh tampak hanya baju dan wajah, menurut al-Auza’i hanya baju, wajah, dan kedua telapak tangan. Sedangkan dalam pandangan Ibnu Mas’ud seluruh bagian tubuh perempuan aurat dan tidak boleh terlihat kecuali bajunya. Sementara Ibnu Abbas mengarajan hanya wajah dan kedua telapak tangannya dan Imam Malik seluruh tubuh, wajah, dan telapak tangannya aurat wanita. “Saya sepakat dengan fatwa al-Azhar Mesir bahwa wajah dan telapak tangan tak wajib ditutupi,” tutur dia.
Meski menyepakati bahwa wajah dan telapak tangan saja yang tidak perlu ditutup, namun Kiai Cholil menegaskan perbedaan pendapat tidak lantas membuat saling mencela golongan yang berbeda, apalagi melarangnya.
“Jadi dalam ranah fikih khilafiyah boleh memilih dalil yang dianggap kuat untuk dipedomani. Namun tetap menghormati perbedaan pendapat yang dianggap kuat dan dirasa lebih maslahat oleh orang lain sehingga tidak tepat mencela apalagi melarangnya,” papar dia.
Di sisi lain, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Yudian Wahyudi dalam konferensi persnya di UIN Sunan Kalijaga, Senin (5/3) mengatakan, alasan pelarangan tersebut selain sebagai langkah pencegahan radikalisme dalam kampus, juga karena sebelumnya sudah ada tanda tangan antara mahasiswa dan pihak kampus.
Ia sendiri menjelaskan bahwa sebelum mahasiswa dikeluarkan, pihak UIN akan memberikan konseling secara bertahap kepada mahasiswa yang memakai cadar. Bila sampai tahapan terakhir mahasiswa tersebut masih tetap tidak berubah, maka kampus akan memberikan surat rekomendasi pindah ke kampus lain.
“Kita minta mereka pindah kampus, kita kasih rekomendasi untuk pindah kampus bagi yang terakhir setelah tahapan konseling, ” tegasnya.
Sebelumnya, melalui Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018 , secara resmi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta melarang pemakaian cadar di lingkungan kampus. (Azhar/Nashih)