Jakarta — Salah satu Rekomendasi Rakernas MUI di The Sahira Hotel, Bogor, Selasa (28/11) sampai Kamis (30/11) membahas Putusan MK terkait pencantuman identitas Penghayat Kepercayaan dalam dokumen kependudukan: Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Putusan MK yang menandaskan bahwa kata agama dalam kolom dokumen kependudukan juga diartikan kepercayaan, dinilai MUI sebagai keputusan yang kurang bijak. Dalam proses pengambilan keputusan, misalnya, MK tidak menghadirkan MUI dan Kementerian Agama (Kemenag).
Pasca putusan MK, MUI mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak selama empat hari, mulai Selasa (14/11) sampai Jumat (17/11), membahas putusan itu. Setelah hari pertama MUI membahas di Rapat Pimpinan Harian (Rapimhar), pada hari kedua, Rabu (15/11) di Gedung MUI Pusat, MUI membahas masalah kepercayaan dengan perwakilan ormas Islam.
“Negara dua ratus juta orang, ditentukan oleh sembilan orang, tidak konsultasi lagi, ” kata Ketua Umum MUI, KH. Ma’ruf Amin saat pertemuan MUI dengan Kemenag dan Kemendagri di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Jumat (17/11).
Kiai Ma’ruf mengatakan, putusan MK itu merusak kesepakatan politik yang selama ini berjalan. “Bila kesepakatan politik ini boleh diabaikan, maka negara ini bubar karena negara dibentuk berdasarkan kesepakatan politik,” tambahnya.
Dalam pertemuan di MUI, perwakilan ormas Islam sepakat menolak putusan MK. Salah satu yang menjadi poin utama penolakan adalah tidak dihadirkannya MUI dan perwakilan agama dalam persidangan MK. Poin lain penolakan adalah karena agama dan kepercayaan disejajarkan.
“Agama dan kepercayaan adalah dua hal yang berbeda, untuk itu kami menolak aliran kepercayaan dimasukkan ke dalam KTP dan KK, ” tutur Nurhadi pimpinan Ormas Sarikat Islam.
Setelah melakukan pertemuan dengan ormas Islam, di hari berikutnya Kamis (16/11), di tempat yang sama, MUI bersama ormas Islam bertemu Kementerian Pendidikan dan Kabudayaan (Kemendikbud). Dari pertemuan dengan kemendikbud, terungkap akar masalah lahirnya putusan MK ini. Sepenuturan Kemendikbud, MK mengeluarkan putusan tersebut karena sebelumnya ada penghayat kepercayaan yang diperlakukan tidak adil oleh salah satu instansi pemerintah.
“Mereka tidak menuntut dijadikan agama, namun mereka meminta hak dasarnya dilayani pemerintah dan statusnya sebagai warga negara sama, ” ucap Direktur Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Tradisi Kemendikbud Sri Hartini.
Sri Hartini mengungkapkan, sebelumnya ada penghayat kepercayaan yang mendaftar menjadi anggota TNI namun gagal karena kolom agama di KTP-nya kosong. Penghayat itu kemudian melaporkan ke MK dan meminta agar diberikan hak yang sama sebagai warga negara. MK kemudian merespon dengan memutuskan bahwa identitas penghayat kepercayaan bisa masuk KTP/KK.
“Ketika penghayat ini menggunakan KTP yang tidak diisi alias kosong, ada dampak yang luar biasa untuk mereka seperti ketika mendaftar TNI/POLRI, ” kata Sri.
“Dampak tidak dipeuhinya hak-hak dasar seperti ini jangan sampai terus-menerus terjadi, ” imbuhnya.
Respon MK dinilai MUI tidak tepat menjawab inti masalah. Seharusnya, tutur Kiai Ma’ruf, bila masalahnya tentang pemenuhan hak sebagai warga negara, MK merespon dengan cara lain, bukan dengan mencampurkan kolom agama dan kepercayaan dalam KTP.
“Tinggal hak-haknya dipenuhi, dibuat aturan, ditugaskan, formnya kalau menjadi pegawai diubah. Kalau mau dimakamkan, diberi pemakaman, ” katanya.
Selesai dengan Kemendikbud, keesokan harinya, Jumat (17/11), MUI bertemu Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan keterjutannya dengan putusan MK yang terkesan terburu-buru.
“Kementerian Agama dan seluruh jajaran sama kagetnya dengan putusan MK ini, ” ucapnya. Meski begitu, mengingat putusan MK sifatnya final dan mengingat, Lukman mengingatkan agar putusan ini diterima.
“Jangan sampai ada kesan bahwa umat Islam tidak tunduk pada putusan MK, implikasinya luar biasa.” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemdagri, Prof. Zudan Arif Fachrullah menegaskan kembali bahwa putusan MK sudah tidak bisa diganggu gugat.
“Dalam yuridis ketatanegaraan, putusan MK final dan mengikat, kita mencari solusi yang terbaik dalam implementasi putusan MK, ” ucapnya.
Terkait implementasi putusan MK, Prof. Zudan member dua pilihan. Pertama, aliran kepercayaan ditaruh dalam satu kolom dengan agama di KTP atau yang kedua, aliran kepercayaan diletakkan di bawah kolom agama. Prof Zudan juga menanyakan alternatif lain yang dirasa paling baik dan maslahat untuk penerapan putusan MK tersebut.
Pada pertemuan terakhir itu, terkait putusan MK yang final dan mengikat, Ketum MUI mengingatkan bahwa sebelumnya MUI pernah tidak mengeksekusi putusan MK. MUI melakukannya ketika ada putusan waris untuk anak yang tidak sah (tidak melalui jalur pernikahan). Mengingat itu bertentangan dengan syariat Islam, MUI menyarankan agar ada shodaqoh wajibah bagi ayah biologis kepada anak yang bersangkutan.
Saat penutupan Rakernas Kamis (29/11), MUI kembali lagi menyuarakan sikapnya mengenai putusan MK tersebut. Seperti dibacakan Wakil Ketua Umum MUI, Buya Zainut Tauhid Saadi, MUI sangat menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor perkara 97/puu-XIV/2016.
“Putusan tersebut kami nilai kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama khususnya umat Islam Indonesia karena putusan tersebut berarti telah menyejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan, ”ungkapnya.
MUI berpandangan, lanjut Buya Zainut, bahwa putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta merusak terhadap kesepakatan kenegaraan yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
“MUI berpendapat seharusnya MK dalam mengambil keputusan yang memiliki dampak strategis, sensitif, dan menyangkut hajat hidup orang banyak, membangun komunikasi dan menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan sehingga dapat mengambil keputusan secara obyektif, arif, bijak, dan lebih aspiratif, ” tambahnya
“MUI menghormati perbedaan agama, keyakinan dan kepercayaan setiap warga negara karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, ” katanya.
MUI juga sepakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, MUI juga mengusulkan langkah-langkah solusi terhadap warga negara yang membutuhkan pelayanan terkait putusan MK tentang identitas pribadinya agar dicantumkan pada kartu keluarga (KK) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) seperti penganut penghayat kepercayaan.
Selain mengutarakan sikap, MUI juga memberikan masukan kepada pemerintah terkait putusan MK ini.
“Pemerintah dapat melakukan pencantuman identitas penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada Kartu Keluarga (KK), ” jelas Buya Zainut.
MUI juga menyarankan supaya urusan yang terkait dengan hak-hak sipil sebagai warga negara, warga penghayat kepercayaan tetap berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana yang selama ini telah berjalan dengan baik.
Terakhir, MUI memberi masukan supaya pemerintah dapat mencetak Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang hanya mencantumkan kolom aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan jumlah kebutuhan warga penghayat kepercayaan.
Kiai Ma’ruf ketika itu juga mewanti-wanti agar KTP hanya dicetak sesuai jumlah penghayat kepercayaan saja. Pencetakan ulang semua KTP yang beredar di masyarakat, selain menimbulkan keresahan, juga potensial memunculkan kasus yang serupa dengan yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.
“Kalau (semua) bikin baru lagi, nanti ada tiang listrik yang ketabrak lagi, ” tutup Kiai Ma’ruf. (Azhar)