Renungan Arafah (1)
Anggota Amirul Hajj Asrorun Niam Sholeh:
Haji Mabrur Anti Hoax, Fitnah, dan Ghibah
Satu tanda kemabruran haji adalah kemampuan mengendalikan diri dari penyebaran fitnah, ghibah, hoax, ujaran kebencian, dan segala aktifitas yang dapat memecah belah bangsa. Hal itu diungkapkan Anggota Amirul Hajj yang juga Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh dalam ceramah yang disampaikan saat Wukuf di Arafah pada Kamis, (31/8/2017).
Turut hadir dalam ceramah di tenda missi haji Indonesia itu antara lain Menteri Agama RI, Ketua Komisi VIII DPR RI dan rombongan, Konjen RI di Jeddah, Anggota BPK, Anggota BPKH, Anggota KPHI, dan para petugas serta jamaan haji Indoensia.
Lebih lanjut Niam menjelaskan, di tengah perkembangan dunia media sosial (medsos) sebagai buah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seringkali kita terjebak pada saling hina, saling caci, hanya karena perbedaan pandangan dan orientasi.
“Penggunaan media sosial di tengah masyarakat seringkali menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax¸ fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial. Saatnya jamaah haji menjadi agen perubahan. Berkata yang baik, atau diam”, jelasnya.
Allah SWT menegaskan perintah menjauhi prasangka dan larangan ghibah serta mencari-cari kesalahan orang lain. “Ini untuk mencegah terjadinya konflik dan rasa permusuhan antar sesama”, jelasnya.
Karenanya, ungkap dosen Pascasarjana UIN Jakarta ini, setiap kita penting untuk menjaga ucapan dan perbuatan agar jangan sampai menyakiti orang lain, baik individu maupun kelompok, terlebih kepada orang tua dan pemimpin kita. Nabi Muhammad saw mengajarkan dan memerintahkan untuk bertutur kata yang baik dan menjadikannya sebagai salah satu indikator keimanan kepada Allah,
“Fenomena penyebaran hoax sebagai industri, yang diorganisir secara rapi, baik untuk tujuan ekonomi maupun politik adalah fenomena yang sungguh mengkhawatirkan, dan harus dicegah. Karena jika dibiarkan, akan terus menyemai benih konflik horisontal, perpecahan dan mengarah pada disintegrasi bangsa”, tegasnya.
“Haji yang mabrur meniscayakan komitmen perang teerhadap rafats fusuq, dan jidal. Ibadah haji harus memancarkan spirit anti hoax, ujaran kebencian, dan senantiasa bermuamalah secara beradab, baik di dunia nyata maupun dunia maya” ujarnya.
“Revolusi mental harus dimulai dari kemampuan mengendalikan diri, bersikap adil, dan selalu memilih kata-kata yang baik dalam menyampaikan pandangan. Jika tidak mungkin, maka lebih baik diam. Kita tidak mengumbar cacian dan hinaan, meski untuk tujuan yang baik. Tujuan yang baik harus menggunakan cara yang baik”.
Renungan Arafah (2)
Stop Hoax, Ghibah dan Ujaran Kebencian, Raih Kemabruran
Asrorun Niam Sholeh
Anggota Amirul Hajj, Dosen Fakultas Syariah n Hukum UIN Jakarta
Nabi Muhammad saw, dalam khutbah pada saat wukuf di Arafah menekankan soal pentingnya menjaga kehormatan setiap jiwa dan properti manusia. Pada saat kita menyadari keragaman kita sebagai makhluk, maka kewajiban dan tanggung jawab kita adalah untuk saling mengenal dan meneguhkan persaudaraan. Allah mengharamkan pertumpahan darah, saling caci, dan juga saling hina, apapun alasannya.
Sabdanya saat khutbah wukuf:
أيها الناس إن دماءكم وأعراضكم حرام عليكم إلى أن تلقوا ربكم كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا … ألا هل بلغت اللهم فاشهد.
“Wahai manusia sesungguhnya harta dan kehormatan kalian terhormat sesama kalian hingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian, seperti terhormatnya hari ini, pada bulan ini dan di negeri ini-ketahuilah sesunggunya aku telah sampaikan maka saksikanlah”.
Di tengah perkembangan dunia media sosial (medsos) sebagai buah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seringkali kita terjebak pada saling hina, saling caci, hanya karena perbedaan pandangan dan orientasi.
Penggunaan media sosial di tengah masyarakat seringkali menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax¸ fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial.
Jauh-jauh hari, Allah SWT sudah memerintahkan untuk selalu berbaik sangka (husnuzh zhan) dan mengingatkan kita untuk menjauhi prasangka buruk (su’u al-zhann).
Sebagaimana firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (الحجرات : ١٢)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hujurat 49 : 12)
Ayat di atas menegaskan perintah menjauhi prasangka dan larangan ghibah serta mencari-cari kesalahan orang lain. Ini untuk mencegah terjadinya konflik dan rasa permusuhan antar sesama.
Dalam ayat lain, Allah SWT menjelaskan bahwa perbuatan menyakiti orang mukmin tanpa kesalahan yang mereka perbuat adalah dosa, antara lain :
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (الأحزاب : ٥٨)
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. al-Ahzab :58)
Ghibah itu berbeda dengan fitnah. Nabi kita Muhammad saw menjelaskan pengertian tentang ghibah sebagaimana sabdanya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ”. قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ “ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ”. قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ “إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ” (رواه البخاري و مسلم)
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Tahukah kalian apa ghibah itu?” Para shababat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Ghibah itu adalah bercerita tentang saudara kalian tentang hal yang ia benci.” Ada yang bertanya:, “Bagaimana pendapatmu jika yang saya ceritakan itu benar-benar nyata ada pada diri orang itu?, nabi pun menjawab: “Jika apa yang kamu katakana tentang saudaramu itu benar adanya maka telah melakukan ghibah kepadanya; namun apabila apa yang kamu katakan tidak benar, maka berarti kamu telah melakukan kedustaan (fitnah) kepadanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Karenanya, setiap kita penting untuk menjaga ucapan dan perbuatan agar jangan sampai menyakiti orang lain, baik individu maupun kelompok, terlebih kepada orang tua dan pemimpin kita. Nabi Muhammad saw mengajarkan dan memerintahkan untuk bertutur kata yang baik dan menjadikannya sebagai salah satu indikator keimanan kepada Allah, sebagaimana sabdanya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فليقل خيرًا أو ليصمت …. ” (رواه البخاري ومسلم)
Dari Abi Hurairah ra dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fenomena penyebaran hoax sebagai industri, yang diorganisir secara rapi, baik untuk tujuan ekonomi maupun politik adalah fenomena yang sungguh mengkhawatirkan, dan harus dicegah. Karena jika dibiarkan, akan terus menyemai benih konflik horisontal, perpecahan dan mengarah pada disintegrasi bangsa.
Haji yang mabrur meniscayakan komitmen perang teerhadap rafats fusuq, dan jidal. Ibadah haji harus memancarkan spirit anti hoax, ujaran kebencian, dan senantiasa bermuamalah secara beradab, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Revolusi mental harus dimulai dari kemampuan mengendalikan diri, bersikap adil, dan selalu memilih kata-kata yang baik dalam menyampaikan pandangan. Jika tidak mungkin, maka lebih baik diam. Kita tidak mengumbar cacian dan hinaan, meski untuk tujuan yang baik. Tujuan yang baik harus menggunakan cara yang baik.
Wallahu A’lam bi al-shawab
Renungan Arafah(3)
Penuhi Janji, Sayangi Rakyat, Taati Pemimpin
Asrorun Niam Sholeh
Anggota Amirul Hajj, Dosen Fakultas Syariah n Hukum UIN Jakarta
Di antara substansi khutbah wukuf Nabi yang sangat penting adalah tentang wasiat terkait hak dan kewajiban masing-masing kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tanggung jawab sebagai anggota masyarakat, termasuk relasi antara pemimpin (ra’i) dan warga negara sebagai yang dipimpin (ra’iyyah).
Rasulullah saw berwasiat untuk senantiasa mendengar dan menaati pemimpin, yang sudah disepakati untuk dijadikan pimpinan. Kita diwajibkan untuk mentaati ulil amr, sebagaimana dijelaskan secara eksplisit dalam al-Quran sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Nisa 59:
يآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu”.
Dalam hadisnya, Nabi Muhammad saw bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِيْ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ وَمَنْ يَعْصِنِيْ فَقَدْ عَصَى اللّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِيْ
“Barangsiapa taat kepadaku berarti ia telah menaati Allah, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku berarti ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang taat kepada amir (yang Muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir, maka ia bermaksiat kepadaku.” (Muttafaq Alaih).
Dengan demikian, basis relasi antara penguasa dan rakyat adalah saling membutuhkan. Ketaatan yang diberikan terhadap penguasa oleh rakyatnya adalah ketaatan bersyarat, sepanjang dapat menjamin kemaslahatan dan tidak menabrak ketentuan syariah. Sepanjang syarat tersebut terpenuhi, maka rakyat wajib mentaati kebijakannya.
Ketaatan kepada pemimpin adalah kewajiban syar’i, sepanjang pemimpin tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Ketaatan kepada pemimpin terikat oleh komitmen bersama untuk kemaslahatan, bukan karena faktor suka atau tidak suka. Rasulullah saw menegaskan kewajiban taat meski yang memimpin kalian adalah seorang budak, sebagaimana sabdanya:
عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ وُلِّيَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
“Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.
Wujud ketaatan kepada pemimpin adalah dengan mendengar dan mentaati aturan serta kebijakan yang diambil, sekalipun kita tidak menyukainya. Nabi saw bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَة.
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada perkara yang ia sukai dan tidak ia sukai, kecuali jika diperintahkan berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Syarat ketaatan tersebut adalah sepanjang pemimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat. Jika pemimpin memerintahkan kemaksiatan atau melarang suatu kewajiban syar’i, maka tidak lagi ada kewajiban untuk memberikan ketaatan.
Sebaliknya, setiap kita yang diberikan amanah untuk menjadi pemimpin, wajib untuk mewujudkan kemaslahatan. Kepemimpinan adalah amanah yang kelak akan dimintakan pertanggungjawaban di sisi-Nya.
Sabda Nabi saw ketika haji wada’:
فمن كانت عنده أمانة فليؤدها إلى من ائتمنه عليها
“Barang siapa memiliki amanah maka ia harus menunaikan amanah tersebut kepada yang memberi amanah”.
Dalam menjalankan amanah, yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan kita sebagai pemimpin (ulil amr) adalah semata-mata mewujudkan kemaslahatan, yakni menjaga urusan agama (hirasati al-diin) dan mengatur urusan keduniaan (siyasati al-dunya).
Hal ini sebagaimana dijelaskan secara eksplisit oleh Imam al-Mawardi dalam “al-Ahkam al-Sulthaniyyah” sebagai berikut:
الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا ، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ
Pemimpin dipilih, diangkat, dan ditetapkan semata-mata untuk untuk menjalankan amanah melayanan ummat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat dan mencegah kemafsadatan.
Hubungan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin adalah salah satu prasyarat untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan, yang menjadi tujuan bernegara dan bermasyarakat. Jika masing-masing dari kita, antara pemimpin dan yang dipimpin memahami posisi masing-masing, menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kompetensinya, maka akan terwujud kemaslahatan dan kebaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemimpin yang mewajibkan sesuatu kebijakan yang hukum asalnya mubah, atas dasar pertimbangan kemaslahatan, maka rakyat wajib mentaatinya. Dalam konteks inilah relevansi pernyataan Imam Nawawi al-Bantani, yang seringkali diulang-ulang oleh KH. Ma’ruf Amin terkait kewenangan negara mengatur hal-hal yang mubah.
إذا أوجب الإمام بواجب تأكد وجوبه، وإذا أوجب بمستحب وجب، وإذا أوجب بجائز إن كانت فيه مصلحة عامة كترك شرب الدخان وجب (قول الشيخ نووي البنتني)
“Apabila pemimpin mewajibkan suatu perbuatan yang wajib, maka kewajibannya menjadi sangat kuat. Apabila pemimpin mewajibkan sesuatu yang mustahab maka ia berubah menjadi wajib. Dan apabila pemimpin mewajibkan sesuatu yang hukum asalah mubah, apabila di dalamnya ada pertimbangan kemaslahatan umum seperti kewajiban tidak merokok maka hukumnya menjadi wajib.”
Karenanya, ketika pemimpin menjalankan amanah secara baik, kita wajib taat dan tidak boleh khianat, apalagi melakukan perlawanan dan pemberontakan.
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّة
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama’ah kemudian ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
Akan tetapi, jika pemimpin menetapkan kebijakan untuk mewajibkan/melegalkan sesuatu yang dilarang agama atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama maka tidak boleh ditaati.
Allah SWT menjadikan kepemimpinan sebagai ujian, yang bisa diserahkan kepada siapa saja, dan jika Allah menghendaki dapat mengambilnya kapan saja, sebagaimana firman-Nya:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: ‘Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS.Ali Imran:26)
Rasulullah saw juga berpesan untuk memberikan masukan, koreksi, dan kontrol agar masing-masing pihak menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai amanah yang diberikan. Abu Bakr al-Siddiq sendiri, sesaat diangkat menjadi khalifah pertama pengganti rasulullah SAW menegaskan dalam pidato pertamanya sebagai berikut:
“أيها الناس إن أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني … أطيعوني ما أطعت الله فيكم فأن عصيته فلا طاعة لي عليكم”
“Wahai sekalian manusia, jika aku dalam kebaikan maka bantulah aku dan jika aku buruk maka ingatkanlah aku … taatilah aku selagi aku menyuruh kalian taat pada Allah, dan jika aku memerintahkan kemaksiatan maka jangaan taati aku”.
Hal yang sama dilakukan oleh Umar ibn al-Khattab, dengan pidatonya yang sangat terkenal:
“من رأى منكم في اعوجاجا فليقوموني….”
“Barangsiapa di antara kalian melihat aku dalam ketidaklurusan maka luruskanlah aku…”
Inilah keadilan. Inilah revolusi mental. Kita hormati kesepakatan yang sudah kita ambil secara bersama-sama. Kita sebagai pemimpin harus menunaikan amanah kepemimpinan secara baik, merumuskan seluruh kebijakan semata untuk kemaslahatan umum, bukan kepentingan pribadi maupun kelompok kecil.
Kita sebagai rakyat punya tanggung jawab untuk taat kepada pimpinan, menghormatinya, dan mematuhi aturandan kebijakan sekalipun kita tidak menyukainya. Kita tunaikan kewajiban kita masing-masing, dan kita saling mengoreksi. Kita, ibarat satu tubuh, yang jika satu sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan tidak nyaman.
Wallahu A’lam bi al-shawab