KH Ahsin Sakho Muhammad menegaskan, cara membaca al-Quran merupakan hasil karya seni manusia yang dirangkum dalam Kalamullah. Hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam melainkan lahir dari seni budaya masyarakat tertentu.
“Ini adalah perpaduan yang baik antara Kalamullah dari langit yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan,” kata Ahsin Sakho, Rektor Institut Ilmu Alquran (IIQ) periode 2014, yang juga pimpinan Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon, kepada ROL, Ahad (17/5/2015).
Hanya saja, Ahsin yang doktor ilmu al-Qur’an lulusan universitas di Saudi Arabia ini melanjutkan, bacaan pada langgam budaya harus tetap mengacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya. Dalam hal ini, tajwid dalam hukum bacaannya. “Panjang pendeknya, mahrajnya,” kata dia.
Ahsin menjelaskan, cara membaca al-Quran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dalil shahih yang melarang hal demikian. Hanya saja, dia melanjutkan, dirinya belum pernah mendengar Jawabul Jawab di dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia.
“Tetapi jika hanya sekedar langgam Jawa, Sumatera, Sunda, Melayu, dan lainnya, itu sah saja selama memperhatikan hukum bacaan semestnya. Itu kreatifitas budayanya,” kata dia.
Ahsin lebih lanjut mengungkapkan, saat ini masyarakat Indonesia hanya mengenal satu pintu dalam mendengarkan cara melantunkan al-Quran. Seluruhnya terangkum dalam tujuh seni dalam membaca al-Quran, yakni Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka.
Dalam ketujuh jenis qiraah itu terdapat tingkatan dan variasi nada yang berbeda-beda. “Sejarah cara melantunkan al-Quran ini berasal dari Iran. Banyak orang Arab yang mempelajarinya ke Parsi, Iran. Meskipun ada 40 jenis cara membaca al-Quran, tapi yang dinilai layak hanya tujuh ini,” ungkapnya.
Ahsin mengisahkan, langgam bacaan al-Quran berasal dari Iran. Kala itu, orang Makkah dan Madinah sedang membersihkan Ka’bah. Di sana ada orang Farsi yang sedang melantunkan bacaan al-Quran dengan langgam nada lagu asal negerinya.
“Ketika itu orang Makkah kemudian menerapkannya ke dalam bacaan al-Quran dan ternyata merdu didengar. Sejak saat itu pun lahirlah lagu syarqi yang bernuansa ketimuran,” kata dia.
Dalam melantunkan al-Quran, kata Ahsin, ada yang bernada sedih dan bernada gembira dalam membaca setiap surah di dalamnya. “Itu akan lebih bermakna dan bagus. Misalkan saat menjelaskan neraka ataupun surga,” ujarnya.