Makkah, muisulsel.or.id – Kembali lagi terjadi di Negara kita yang selalu ramai tentang siapa yang harus diikuti oleh umat Islam dalam menetapkan waktu berpuasa dan waktu hari raya.
Sebagian kecil ada yang menggunakan ilmu hisab dan lain-lain. Akan tetapi mayoritas umat Islam, masih menggunakan cara yang syar’i, yaitu menggunakan metode rukyatul hilal bilfi’li.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sulsel, Dr. KH Syamsul Bahri mengungkapkan beberapa dasar-dasar mayoritas umat Islam Indonesia selalu menggunakan metode melihat bulan atau rukyatul hilal bilfi’li, bukan rukyatul hilal bil’ilmi.
“Dasar menggunakan metode rukyatul hilal dalam menetapkan waktu puasa dan hari raya adalah Al-Qur’an al-Karim. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ. (البقرة : 189).
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”. QS. Al Baqarah 2 : 189
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menjadikan keluarnya bulan sebagai waktu untuk menentukan ibadah seperti puasa dan haji, memulainya dengan melihat bulan.
Alumni Suriah tersebut juga mengungkapkan bahwa apabila bulan dapat dilihat di Negara lain semisal di Timur Tengah, akan tetapi tidak dapat dilihat di Indonesia, maka kita harus mengikuti hasil rukyat yang terjadi di Negara sendiri, bukan di Timur Tengah, hal ini didasarkan pada hadits:
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami”. ( HR. Muslim [1087], Ahmad 1/306, Abu Dawud [2332], al-Tirmidzi [693], al-Nasa’i 4/131 dan Ibnu Khuzaimah [1916]).
Hadits di atas sangat tegas memberikan penjelasan, bahwa setiap daerah mengikuti hasil rukyatnya masing-masing dalam menentukan awal puasa dan hari raya.
Dalam konteks ini, al-Imam Ibnu Khuzaimah menegaskan: “Hadist di atas merupakan dalil atas wajibnya tiap-tiap penduduk negeri untuk berpuasa Ramadhan berdasarkan karena ru’yah mereka, bukan ru’yah selain negeri mereka”. (Shahih Ibn Khuzaimah, juz 3 hlm 205).
Selain itu, Syamsul Bahri juga menjelaskan tentang puasa hari Arafah. “Berpuasa Arafah tidak harus menunggu orang-orang wukuf di Arafah, akan tetapi sesuai dengan rukyah di masing-masing daerah.
Dalam hadits-hadits shahih ditegaskan:
وَعَن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم أَنَّهُ قَالَ: صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan. Apabila mendung menghalangi kalian melihatnya, maka hitunglah 30 hari.” (HR. Ahmad 2/415, al-Bukhari [1909], dan lain-lain).
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :« صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ ».
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihat bulan. Apabila bulan tertutupi oleh mendung, maka hitunglah tiga puluh hari.” (HR. Muslim [1081]).
Hadits Ibnu Abbas dan Abu Hurairah di atas menunjukkan bahwa memulai ibadah puasa, idul fitri dan idul adha adalah dengan rukyat hilal, bukan dengan menunggu jamaah wukuf di Arafah.
Ia mengungkapkan bahwa Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tinggal di Madinah selalu berkurban tanpa menunggu orang wukuf di Arafah, karena ibadah Haji memang belum disyariatkan pada waktu itu. Kesimpulan ini diperkuat dengan hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسِ قَالَ: كَانَ لأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ من كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النحر
“Anas berkata: “Kaum Jahiliyah memiliki dua hari dalam setiap tahun untuk bersenang-senang. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah, beliau bersabda: “Kalian memang memiliki dua hari untuk bersenang-senang, dan Allah telah menggantikan yang lebih baik dari pada dua hari tersebut bagi kalian yaitu hari raya idul fitri dan idul adha.” (HR. Muslim [1767]).
Tambahnya, menurut para ahli sejarah bahwa Idul Fitri dan Idul Adha disyariatkan pada tahun pertama atau kedua Hijriah, sedangkan ibadah Haji baru disyariatkan pada tahun ke enam atau kesembilan Hijriah, sehingga untuk menentukan hari raya Idul Adha tidak harus menunggu jamaah haji wukuf di Arafah.
Syamsul Bahri juga mengingatkan bahwa jika sebagian orang ada yang berpuasa lebih dulu karena mengikuti penetapan puasa Negara lain, dan ada pula karena mengikuti penetapan sebuah Ormas keagamaan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan, berdasarkan dalil-dalil berikut ini. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ. (النساء : 59).
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. al-Nisa’ : 59).
Ayat di atas menegaskan, bahwa umat Islam wajib taat kepada Allah, taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada ulil amri atau pemerintah. Kewajiban taat kepada pemerintah, termasuk dalam penentuan awal puasa dan hari raya. Dalam kitab-kitab tafsir diterangkan:
قَالَ سَهْلٌ بْنُ عَبْدِ اللهِ التُّسْتَرِيُّ : أَطِيْعُوا السُّلْطَانَ فِيْ سَبْعَةٍ : ضَرْبِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ وَالْمَكَايِيْلِ وَاْلأَوْزَانِ وَاْلأَحْكَامِ وَالْحَجِّ وَالْجُمْعَةِ وَالْعِيْدَيْنِ وَالْجِهَادِ.
“Sahal bin Abdullah al-Tustari berkata: “Taatlah kalian kepada penguasa dalam tujuh perkara; pembuatan mata uang dirham dan dinar, takaran dan timbangan, penetapan hukum-hukum, haji, Jum’at, dua hari raya, dan jihad”. (Al-Qurthubi, al-Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, juz 5 hlm 167; dan Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, juz 3 hlm 290).
Keharusan mengikuti pemerintah dalam hal penentuan waktu ibadah, juga diperkuat oleh hadits-hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَة عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ. أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَه وَالتِّرْمِذِي وَصَحَّحَهُ
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasa kalian adalah hari kalian semua berpuasa. Idul fitri kalian, hari kalian beridul fitri. Idul adha kalian, hari kalian berkurban.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi dan menilainya shahih, dan Ibnu Majah).
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ الهِa صَلَّى الهُe عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ: رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Idul fitri adalah ketika orang-orang beridul fitri. Idul adha adalah ketika orang-orang berkurban.” (HR. al-Tirmidzi [802]).
Dua hadist di atas menunjukkan pada dua hal. Pertama, bahwa penentuan hari rayaIdul Fitrhi dan Idul Adha adalah wewenang pemerintah, bukan ormas atau yayasan. Kedua, bahwa berpuasa dan berhari raya hendaknya bersama mayoritas masyarakat di sekitarnya, tidak boleh menyelisihi mereka dengan sholat dan ibadah sendiri.
Demikian ini diperkuat dengan atsar berikut ini:
وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ رَجُلَيْنِ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَأَيَا هِلالَ شَوَّالٍ فَأَفْطَرَ أَحَدُهُمَا وَلَمْ يُفْطِرْ الآخَرُ. فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ قَالَ لِلَّذِي أَفْطَرَ : لَوْلا صَاحِبُك لأَوْجَعْتُك ضَرْبًا
Telah diriwayatkan bahwa dua orang laki-laki pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat bulan Syawal. Lalu salah satunya berbuka, sedangkan yang satunya tidak berbuka. Lalu hal itu sampai kepada Umar, maka Umar berkata kepada orang yang berbuka itu: “Seandainya bukan karena temanmu, pasti aku memukulmu hingga kesakitan.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz juz 25 hlm 204).
Dalam atsar di atas, Khalifah Umar bin al-Khattab menegur orang yang memulai Idul Fithri secara sendiri-sendiri tanpa koordinasi dengan pemerintah.
Hal itu menunjukkan bahwa untuk mengawali Idul Fitri atau puasa hendaknya menunggu keputusan pemerintah, bukan memutuskan sendiri-sendiri, meskipun ia telah melihat bulan Syawal.
Ahlussunnah Wal-Jama’ah selalu mengajak pada kebersamaan dan kerukunan dengan sesama Muslim, dan mentaati pemerintah, meskipun pemerintahan yang sewenang-wenang. Melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang memerintah dengan sewenang-wenang, termasuk tanda-tanda ahli bid’ah kaum Mu’tazilah dan Khawarij.
Dalam kitab-kitab akidah diterangkan:
وَفِي التَّمْهِيْدِ لاِبْنِ عَبْدِ الْبَرِّ: ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ وَعَامَّةِ الْخَوَارِجِ إِلىَ جَوَازِ مُنَازَعَةِ اْلإِمَامِ الْجَائِرِ
Dalam kitab al-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr: “Sekelompok dari Mu’tazilah dan mayoritas Khawarij berpendapat, bolehnya melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sewenang-wenang.” (Al-Imam Ibrahim al-Laqani, Hidayah al-Murid li-Jauharah al-Tauhid, hlm 450).
Dr. KH. Syamsul Bahri di akhir paparannya mengungkapkan bahwa untuk mengawali bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah dilakukan dengan menggunakan metode rukyat dan hisab yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya dan yang berwenang dalam melakukannya adalah Pemerintah Indonesia dengan melibatkan seluruh ormas-ormas Islam.
“Hendaknya seluruh rakyat Indonesia mengikuti hasil keputusan tersebut (sebagaimana dalam point pertama) demi persatuan umat dan menghindari perpecahan antara umat Islam,” lugasnya.
Adapun yang dimaksud puasa Arafah yang bisa menjadi penebus penebus (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya adalah puasa yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan rukyat yang ditetapkan oleh Pemerintah setempat. Wallahu a’lam.
The post Puasa Arafah dan Hari Raya Ikut Pemerintah? appeared first on MUI Sul Sel.