Makassar, muisulsel.or.id – Hidup tanpa cinta membuat jiwa gersang. Hidup jadi tak bernilai. Bagai tubuh yang tidak punya perasaan. Manusia tanpa cinta ia telah mati sebelum ia mati yang sebenarnya.
Semakin tinggi kadar cinta seseorang, semakin tinggi semangat dan kualitas hidupnya. Lalu apa objek yang kita cintai? Sangat manusiawi dan demikianlah kodratnya ia diciptakan, manusia mencintai lawan jenisnya, mencintai anak-anaknya, harta dan segala macam bentuk kemewahan dunia termasuk jabatan yang terus dipikirkan dan dikejar.
Semua yang disebutkan di atas, mungkin sudah kita miliki atau mungkin masih dalam khayalan. Jika kita sudah miliki, lalu pertanyaannya adalah, sampai kapan bisa bertahan pada kita? Dan apakah yang kita cintai itu dapat menjaga kita, atau malah menyusahkan?
Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Mungkin kita yang lebih dahulu meninggalkannya. Atau mungkin mereka yang lebih dahulu meninggalkan kita. Ini yang disebutkan Allah dalam QS. At-Taubah : 24 (Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik).
Orang mukmin yang mencintai Allah daripada yang lainnya akan mendapatkan manisnya iman. Satu dari tiga yang dilakukan untuk memperoleh nikmatnya iman, yaitu mencintai seseorang karena Allah dan membenci untuk kembali pada kufur.
Dalam QS. Al-Baqarah: 165, dalam ayat itu dijelaskan dalam maknanya sebagai berikut, bahwa ada tiga model manusia yang mencintai antara Allah dan selainNya. Pertama, ada orang yang sama cintanya kepada Allah dengan cinta harta, jabatan, keluarga. Kedua, ada orang yang lebih cinta pada hal-hal yang disebutkan di atas daripada Allah. Dan yang ketiga orang mukmin yaitu lebih mencintai Allah daripada yang disebutkan itu.
Bagaimana mendeteksi diri kita dari tiga model di atas? Di mana posisi kita? Jawabannya terlihat pada sikap kita kepada harta, jabatan dan keluarga. Bukanlah maksudnya manusia tidak perlu memiliki atau mengabaikan semua itu. Terlepas dari sikap seorang sufi perempuan yang bernama Rabiah al-Adawiyah yang tidak nikah dalam hidupnya. Rabiah tidak nikah bukan karena tidak ada yang melamarnya, banyak pemuda hingga ulama yang antri ingin menikahinya. Rabiah menolak dan tidak menerima lamarannya, karena ia khawatir jangan sampai kehadiran keluarga kelak menjadikan cintanya terbagi kepada Allah. Ia hanya ingin kensentrasi mencintai Tuhan. Ia tidak menginginkan ada ruang makhluk di hatinya selain Allah.
Apa yang dialami Rabiah adalah haknya untuk menentukan pilihan hidupnya, apalagi dunia sufi berbeda dengan dunia manusia lainnya. Namun bukanlah berarti orang yang punya keluarga, harta dan jabatan adalah orang yang jauh dari Tuhan.
Boleh jadi seorang mulia di hadapan Allah karena ia memiliki semua itu sebagai ujian baginya. Dan ternyata ia lulus dalam ujian tersebut. Itulah yang dimaksud dalam al-Qur’an bahwa harta dan anakmu adalah fitnah (maksudnya ujian).
Jadi sangatlah wajar dan manusiawi, jika orang mencintai lawan jenisnya, keluarga, harta dan jabatan. Akan tetapi semua yang disebutkan itu seharusnya menjadi sarana dalam merasakan cinta hakiki yaitu Allah swt. Caranya bagaimana? Kendalikan semuanya di bawah keinginan Allah swt.
Orang yang mencintai lawan jenisnya, ia jadikan sebagai pendamping yang halal yang selalu bersama dalam suka dan duka. Orang yang mencintai seseorang, mencintai karena Allah, bukan karena maksud tertentu. Mencintai harta dengan jalan mencari yang halal lalu keluarkan zakat dan sadaqahnya. Jadikan harta yang mengajak kita bersyukur kepadaNya. Bukan harta yang menjauhkan kita dari sujud menyembahNya. Mencintai anak dengan mengajak mengenal Tuhannya, mengajarinya beribadah kepadaNya, membimbingnya dengan nilai-nilai agama. Mencintai pangkat dan jabatan dengan cara diperoleh secara wajar dan benar. Tidak diperoleh melalui cara licik dan kasar yang mengakibatkan orang yang berhak jadi korban. Mencintai jabatan ditundukkan dengan keinginan Tuhan dengan cara tidak menjadikan jabatan untuk melakukan korupsi, memperkaya diri dan orang lain, tapi jabatan dijadikan sebagai sarana untuk kemasalahatan orang banyak. Itulah cinta hakiki, cinta di bawah kontrol Allah swt.
The post MAHABBAH; Cinta Hakiki appeared first on MUI Sul Sel.