JAKARTA – Saat berpuasa umat Islam diperintahkan untuk mampu menjaga hawa nafsu dari segala sesuatu yang membatalkan atau bahkan mengurangi nilai ibadah yang tengah dijalani.
Dalam haditsnya, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menjaga lisan saat berpuasa.
Perintah ini sebagaimana yang tertuang dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رِوَايَةً قَالَ إِذَا أَصْبَحَ أَحَدُكُمْ يَوْمًا صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنْ امْرُؤٌ شَاتَمَهُ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
“Dari Abu Hurairah -secara riwayat (menukil dan menceritakan hadits dari Nabi)- beliau bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian di suatu hari sedang berpuasa berpuasa, maka janganlah dia berkata-kata kotor dan berbuat kebodohan dan sia-sia. Bila dia dicaci oleh orang lain atau diperangi, maka hendaklah dia mengatakan, “Sesungguhnya saya sedang berpusa.” (HR Muslim, No 1151)
Masih dalam redaksi hadits yang sama, riwayat lain dari Abu Dawud disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ فَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ berkata, “Puasa adalah tameng, apabila salah seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, dan melakukan perbuatan bodoh. Apabila terdapat seseorang memusuhinya atau mencelanya maka hendaknya dia mengatakan, “Aku sedang berpuasa.”
Berdasarkan pada dua hadits sahih di atas, kewajiban bagi orang yang berpuasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, melainkan lebih dari itu yakni juga menjaga diri dari ucapan kotor. Mengapa yang dilarang terlebih dahulu adalah berkata kotor atau tidak baik?
Menurut Alfred Korzybski, penggagas teori general semantik menyebutkan manusia memiliki kemampuan untuk menyimpan pengalaman dan pengetahuan lewat fungsi bahasa sebagai penghubung waktu. Bahasa mengikat waktu dan bahasa mengikat umur manusia bersama.
Sederhananya dapat dikatakan bahwa tutur kata mempengaruhi kejiwaan secara individu maupun sosial. Oleh karenanya bahasa memiliki peran kuat dalam mempentuk pribadi seseorang.
Jauh sebelum ditemukannya teori general semantik, Nabi Ibrahim telah mencontohkan kepada keturunannya untuk bertutur kata dengan baik. Sebagaimana doanya kepada Allah SWT dalam surat Asy Syuara ayat 84:
وَاجْعَلْ لِّيْ لِسَانَ صِدْقٍ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۙ
“Jadikanlah aku sebagai buah tutur yang baik di kalangan orang-orang (yang datang) kemudian.”
Lebih lanjut, sejatinya perintah untuk berkata baik dan meninggalkan ucapan kotor tak hanya berlaku ketika seseorang tengah menjalankan puasa.
Dalam hal ini, puasa menjadi satu momentum untuk membiasakan diri berkata dan berbuat baik. Karenanya diharapkan setelah usainya Ramadhan, terbentuklah ketakwaan yang semakin mendekatkan umat Islam kepada Allah SWT.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al Baqarah 183)
Derajat takwa tentu tidak akan mudah diraih. Dimulai dari membiasakan berbicara baik, maka akan berpengaruh pada perilaku dan tindakan. Ini juga yang disebut dengan akhlakul karimah. Upaya mempangun karakter baik melalui ucapan yang baik pula.
Demikianlah keutamaan menjaga lisan saat puasa yang termaktub dalam hadits. Mulai sekarang mari mulai berbenah, menyambut Ramadhan dengan hati yang bersih dan ikhlas karena Allah SWT.
Tujuannya hanya satu, yaitu menghantarkan diri semakin dekat dengan-Nya. Pada akhirnya melalui perantara ini, atas seizin Allah SWT dapat menghantarkan bagi setiap Muslim yang menunaikan puasa mencapai derajat insan yang bertakwa. Wallahu’alam. (Isyatami Aulia, ed: Nashih).