Makassar, muisulsel.or.id – Mujahadah terambil dari kata “juhd” yang berarti usaha maksimal. Dari kata juhd ini lahir istilah “Jihad” dan “Ijtihad”. Istilah “jihad” dimaknai sebagai usaha maksimal dalam melakukan pertahanan diri dari serangan musuh yang menyerang umat Islam, atau menghadapi musuh yang merampas hak-hak kita.
Sementara istilah “ijtihad” adalah upaya maksimal yang dilakukan oleh akal dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi umat manusia, dibutuhkan penyelesaiannya secara syar’i.
Adapun istilah “mujahadah” yaitu usaha maksimal jiwa untuk menjauhkannya dari hal-hal yang tercela.
Tiga istilah di atas sama-sama butuh usaha yang maksimal. Namun wilayah kerjanya berbeda. Jihad, lazimnya melalui fisik. Ijtihad, melalui akal pikiran. Sementara mujahadah, lebih menggunakan kekuatan hati (diri) dalam menghadapi godaan yang bersumber dari dalam maupun luar.
Ayat dan hadis yang menjelaskan tentang mujahadah sebagaimana berikut: (Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik). Q.S. 29 Al-Ankabut : 69.
Hadis yang sangat popular, (Kita baru kembali dari perang kecil akan menghadapi perang besar. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah apakah perang besar itu ? Rasulullah menjawab: “Perang melawan Nafsu) HR. Bayhaqy.
Jiwa kita yang berada pada tiga potensi. Pertama ammarah yang selalu mengajak orang untuk berbuat jahat, kedua lawwamah yang menyesali orang ketika melakukan kejahatan, sehingga ia bisa tersadarkan kembali. Dan ketiga muthmainnah yang selalu mengajak jiwa untuk beriman dalam naungan cahaya ilahy.
Salah seorang tabi’in berkata bahwa musuh jiwa ada tiga, pertama dunia, kedua syaithan, ketiga jiwa sendiri. Hadapi dunia dengan zuhud, hadapi syaithan dengan bertahan dan menyerang, dan hadapi jiwa dengan mujahadah.
Kenapa dibutuhkan mujahadah dalam menangkal bisikan syetan dan dorongan jiwa? Sebab dengan mujahadah berupa usaha maksimal yang dilakukan manusia, Allah akan memberinya musyahadah (kenikmatan dalam merasakan kehadirat Tuhan dalam dirinya).
Lalu bagaimana mendeteksi, apakah godaan yang datang berasal dari setan atau dari jiwa sendiri? Jawabannya dapat dirasakan saat melakukan dosa. Dosa yang pertama kali dilakukan lalu membuat hati berdebar kencang, lebih banyak pengaruhnya dari bisikan setan.
Jiwa merasa gelisah dan takut setelah melakukan dosa tersebut.
Namun jika satu dosa menjadi kenikmatan diri apabila dilakukan, maka pengaruh itu dari dalam jiwa manusia.
Gelisah bila tidak dilakukan, menjadi kebanggan bila dikerjakan apalagi sudah menjadi hobi, maka diagnose penyakit bersumber dari dalam diri manusia.
Karena itu, sesungguhnya setan hanya butuh godaan awal, selanjutnya terserah manusia, mau melayani godaan itu atau melwannya dengan bermujahadah.
Kalau demikian kondisinya, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mujahadah yang terus menerus untuk dihidupkan dan dibiasakan dalam diri. Pepatah mengatakan, ala bisa karena biasa.
Senada dengan pepatah bugis makassar, lele bulu tellele abiasang, lelemua abiasangge, abiasang topa palelei (bukit bisa berpindah, tapi kebiasaan sulit diubah, kebiasaan bisa berubah jika kebiasaan juga yang mengobahnya).
Mujahadah dapat ditempuh dengan cara: melawan syahwat maksiat yang mengajak kita untuk berbuat, dan mujahadah dalam memahami serta mengamalkan agama dengan benar. Dari sini, maka mujahadah dilakukan sebagai langkah pencegahan sebagai daya tangkal bisikan setan dan godaan jiwa. Dan mujahadah dilakukan sebagai pengobatan hati yang sudah terserang dan terjangkit penyakit.
Salah seorang dari generasi tabi’in berkata, tantangan terberat yang paling utama dihadapi adalah melawan diri sendiri. Jika kita bisa menguasainya, maka menghadapi orang lain mudah dilakukan. Namun jika kita tidak dapat menguasai diri sendiri, maka pasti kita kalah menghadapi orang lain.
The post MUJAHADAH: ‘imunisasi’ jiwa appeared first on MUI Sul Sel.