Makassar, muisulsel.or.id – Setiap tahun di seluruh belahan bumi yang didiami umat Islam, masyarakat muslim mengamati dan menunggu terbitnya bulan ramadan.
Hal ini mendatangkan tanda tanya di kalangan orang-orang yang kurang faham tentang sebab musabab diwajibkannya puasa Ramadan pada umat Islam. Mereka senantiasa berpendapat kenapa tidak dipatok saja tanggalnya setiap tahun dan tidak usah diintip intip dan diteropong.
Menjawab hal ini, para ulama mendalihkan bahwa wajibnya puasa Ramadhan karena seseorang harus ada yang melihat masuknya Bulan Ramadan atau mendapatkan malam atau siang di Bulan Ramadan maka wajib untuknya puasa (lihat Fiqhi Islami waadillatihi).
Mengintip datangnya Ramadhan adalah perbuatan ibadah bernuansa sosial sering juga disebut amalan taabbudi karena hal itu harus dilakukan bukan sekedar etika ramai rami dan even even tahunan belaka. Dasar taabbudi ini adalah perbuatan Nabi Muhammad saw dan para shahabat serta tabiin dan tabi tabiin hingga kini.
كان النبي صلّى الله عليه وسلم يتحفظ في شعبان ما لا يتحفظ في غيره، ثم يصوم لرؤية رمضان» (2) وروى أبو هريرة مرفوعاً: «أحصوا هلال شعبان لرمضان» (3).
Hadis Aisyah ra; Rasululullah berjaga jaga diakhir Sya’ban berbeda dengan kebiasaan berjaganya di bulan lain, lalu Rasul saw berpuasa karena melihat bulan, riwayat lain Abu Huraerah berkata : “Hitunglah bulan Sya’ban untuk mendapatkan Ramadhan”.
Ulama empat mazhab mengharuskan penetapan awal ramadhan dan awal Syawal berdasarkan fakta Ru’yat melihat dengan mata kepala bukan karena posisi mungkin dapat terlihat.
Hal ini karena dalil dalil Al-Qur’an dan hadis tentang hal ini qathi’uddilalah (lugas maknanya), sehingga mereka ulama empat mazhab itu menafikan menjadikan tehnologi dan ilmu pengetahuan perbintangan sebagai tumpuan utama penetapan hukum kecuali teknologi dan ilmu perbintangan yang dapat membantu proses ru’yah seperti teropong, dan pengetahuan titik derajat konjungsi bulan matahari di waktu magrib.
Para ulama modern baik di dunia Arab maupun di negara mayoritas beragama Islam menjadikan penetapan puasa Ramadhan dan Syawal karena perintah ru’yah dalam bahasa hadis, dan assyahadah (menyaksikan) dalam bahasa Al-Qur’an.
Hal lain yang ternaskah dalam hadis qauliy, fi’liy dan taqriiry Nabi Muhammad Saw adalah bahwa absah secara hukum Islam menyempurnakan Sya’ban atau Ramadan bila bulan tertutup awan dan terhalang kabut untuk dilihat, walau secara hakekat kadang bulan itu sebenarnya sudah terbit, tapi karena tidak terlihat dan tidak satupun manusia melihatnya, maka ketentuan syariat harus menyempurnakan bulan berjalan, kaidah yang dipegang para ulama fiqhi adalah al-ashlu baqaus syahri illa bidalilli ru’yah; hukum asal bulan berjalan adalah tetap ada kecuali ada bukti terbit bulan berikut maka bulan berjalan berakhir.
Para ulama empat mazhab juga melihat hadis hadis qath’i yang tak dapat ditafsirkan dengan pemahaman lain kecuali sesuai dengan ibaratnya tersusun secara pasti maknanya dari Rasulullah saw:
صوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين» رواه البخاري ومسلم.
Puasalah kalian saat lihat Bulan Ramadhan) dan berbuka puasalah (Idulfitri) saat melihat bulan, jika tertutup awan bulan yang terbit itu, maka hitunglah kesempurnaan bulan Sya’ban berjalan 30 hari.Hal ini juga berlaku untuk penentuan Syawal pasca Ramadhan.
Melihat Bulan Ramadhan terbit adalah sunnah yang turun temurun dilakukan umat Islam di seluruh dunia Arab dan Islam, karena hal ini disyariatkan secara pasti dengan dalil dalil tak terbantahkan secara hukum Islam.
Berkenaan dengan keseragaman puasa dan lebaran di seluruh dunia Islam, para ulama fiqih empat mazhab berada pada dua kecenderungan.
Pertama: Jumhur ulama, Hanafiah, Malikiah dan Hanabila berpendapat bila di satu negeri yang melihat terlebih dahulul Bulan Ramadhan atau Syawal maka negeri lainnya jauh atau dekat harus mengikuti negeri yang sudah melihat bulan itu, ini demi kesatuan dan persatuan umat Islam
Pendapat kedua: Syafiiah berkata dibolehkan bagi negeri yang berjauhan lebih daru 24 farshah yairu 133 km untuk rnenentukan terbitnya bulan sendiri, karena adanya perbedaan waktu terbit antara negeri yang berjauhan seperti Hijas dan Andalusia dahulu, Maroko dan Indonesia kini, sebagaimana hal berbedanya waktu matahari terbit yang membuat shalat lima waktu itu berbeda waktunya dari satu negara ke negeri lainnya.
Nampaknya pendapat Syafiiah yang banyak dianut oleh negara-negara Islam karena setiap negara saat ini memiliki ketetapan Ramadhan tersendiri tidak mengikut ke negara lain.
Umat Islam di seluruh dunia hendaknya berupaya bersatu padu beramadhan dan lebaran satu masa saja seperti pendapat jumhur fuqaha, walau saat ini masih sulit karena hasil hasil konfrensi fiqhi yang menganjurkan kesatuan ramadhan belum dapat diejawantahkan oleh berbagai negara karena banyaknya faktor-faktor penghalang terciptanya kebersamaaan ini Allahu A’lam.
The post Mengawasi Terbitnya Bulan Ramadan di Akhir Bulan Sya’ban appeared first on MUI Sul Sel.