JAKARTA- Puasa Ramadhan wajib bagi setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan (selain yang haid dan nifas), berakal sehat, dan sudah mencapai usia baligh. Kecuali mereka yang memang memiliki uzur syar’i dan diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Lantas, bagaimana dengan anak kecil yang belum baligh? Apakah dibiarkan untuk tidak berpuasa sama sekali karena belum mukalaf (belum dibebani hukum syar’i) hingga ia mencapai usia baligh?
Syekh Yusuf al-Qaradlawi dalam karyanya Fiqh al-Shiyam mengatakan bahwa tidak boleh anak yang belum baligh dibiarkan begitu saja tanpa dididik dan dilatih untuk berpuasa. Karena ajaran agama, terlebih yang hukumnya fardhu ‘ain, seperti shalat dan puasa Ramadan, harus dilatih sejak anak berusia tujuh tahun. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk melaksanakan salat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan jika sudah mencapai umur sepuluh tahun pukullah ia (bila masih tidak melaksanakannya), dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR Abu Dawud no 418)
Syekh al-Qaradlawi menjelaskan alasan mengapa anak harus dilatih berpuasa sejak dini, karena kebaikan maupun keburukan lahir dari sebuah kebiasaan. Dan seseorang tumbuh dewasa sesuai kebiasaan di masa kecilnya. Karena mendidik di waktu kecil seperti mengukir di atas batu. (Yusuf Al-Qaradlawi, Taisir al-Fiqh fi Dhau’i al-Quran wa al-Sunnah; Fiqh al-Shiyam, hal 42)
Dalam kultur masyarakat kita, orang tua biasanya melatih anak berpuasa dengan istilah “puasa setengah hari”, yaitu dari mulai terbit fajar sampai waktu zuhur.
Pada pertengahan hari ini, anak boleh makan dan minum, lalu lanjut lagi berpuasa sampai maghrib. Ada juga yang diiming-imingi reward, bila mampu puasa seharian full.
Selain itu, kita juga bisa melatih anak berpuasa ala para sahabat Nabi SAW. Diriwayatkan dalam satu hadits, bahwa para sahabat memiliki cara yang khas.
عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ: أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ : “مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ”. قَالَتْ: فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الْإِفْطَارِ.
Dari al-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, iya bercerita bahwa setiap pagi hari Asyura (saat itu puasa wajibnya umat Islam masih puasa Asyura), Nabi biasa mengutus seseorang untuk keliling Madinah. Tugasnya adalah menyampaikan pengumuman.
“Siapa yang pagi ini sudah (berniat) puasa, maka lanjutkanlah puasanya. Siapa yang pagi ini sudah terlanjur berbuka/sarapan, maka hendaklah menyempurnakan harinya ini dengan puasa.”
Setelah itu, kami pun langsung berpuasa Asyura. Kami juga menyuruh anak-anak kami yang masih kecil untuk ikut berpuasa. Kami berikan mereka mainan dari bulu. Jika mereka menangis karena minta makan, kami berikan mainan itu hingga bisa bertahan sampai berbuka.” (HR Bukhari no 1960)
Dalam hadits ini, tampak para sahabat berinisiatif untuk membuatkan mainan untuk anaknya agar mereka asik bermain, dan tidak terasa bahwa dirinya sedang berpuasa.
Selain itu, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab syarahnya, Fathul Bari, menerangkan bahwa hadits ini merupakan pijakan syariat dalam melatih anak berpuasa. Karena usia anak seperti disebut dalam hadis sebenarnya belum terbebani hukum kewajiban puasa (mukalaf).
Ini menunjukkan perlakuan para sahabat kepada anak-anaknya semata dalam rangka mendidik dan melatih. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, ha . 201) Wallahu a’lam.. (Shafira Amalia, ed: Nashih).