JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung program Percepatan Sertifikasi Halal yang digalakkan oleh Pemerintah, dengan tetap mengutamakan sisi ketepatan. Penegasan ini disampaikan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh dalam Halaqah Mingguan Infokom MUI edisi ke-23 yang mengangkat tema “Fatwa Halal MUI dan Perpu Cipta Kerja”, Rabu (11/1/2022).
“Penyelenggaraan penetapan kehalalan suatu produk itu mutlak tidak bisa ditawar. Kita mendukung percepatan sertifikasi halal, akan tetapi jangan sampai mengorbankan ketepatan demi mencapai target tersebut,” beber Kiai Niam selaku narasumber dalam halaqah.
Menyoal tentang Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang masuk ke dalam Undang-Undang Cipta Kerja, Kiai Niam menjelaskan aturan tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mendukung kinerja ekonomi masyarakat. Yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan ekonomi bangsa.
Oleh karenanya, MUI secara serius menyiapkan tata kelola dan perbaikan penyelenggaraan sidang halal guna mendukung program Pemerintah. Upaya ini dibuktikan oleh MUI di tahun 2022 yang telah melakukan sebanyak 105.000 sidang penetapan halal.
“Kadang Pemerintah memiliki kehendak untuk percepatan, misalnya halal 50% dulu baru nanti diproses secara bertahap. Perlu ditegaskan kembali yang namanya halal itu utuh. Kalau masih ada yang kurang, itu masih syubhat dan belum bisa ditetapkan kehalalannya,” ungkap Ketua MUI Bidang Dakwah.
Selain itu, dia menyoroti sertifikat halal yang dikeluarkan hanya karena pengakuan sepihak dari pelaku usaha tanpa penetapan kehalalan adalah cerminan yang tidak menjiwai spirit halal. Sebab, kehalalan menyangkut soal terminologi agama bukan sekadar standar administratif belaka.
Kiai Niam juga menyatakan tanggung jawab MUI hanya ada dalam hal kehalalan produk yang ditetapkan oleh MUI sendiri. Apabila produk yang ditetapkan di luar sidang fatwa MUI, sudah dipastikan MUI tidak bertanggung jawab tentang halal atau tidaknya produk tersebut.
“Misalnya Komisi Fatwa MUI menyatakan tidak halal, kemudian si pelaku usaha bergerak ke Komisi Fatwa lembaga lain, secara politik hukum tidak diambil karena akan melahirkan ketidakpastian hukum,” pungkasnya. (Isyatami Aulia/Fakhruddin)