JAKARTA— Ketua Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa (PDPAB) MUI memberikan masukan agar orang tua lebih selektif dalam memilihkan pendidikan anaknya. Beberapa waktu ini kasus pelecehan seksual terhadap santriwati terjadi dalam waktu yang berdekatan misalnya di Lampung dan Batang, Jawa Tengah.
“Orang tua harus lebih selektif memilih lembaga tempat menitipkan anaknya dan orang tua harus sering berkomunikasi dengan anak atas kondisi yang mereka dapati di tempat belajarnya, ” ujarnya, Rabu (11/10) kepada MUIDigital.
Dia juga mengajak apparat penegak hukum rutin melaksanakan sosialisasi kepada pihak terkait untuk mencegah potensi pelecehan seksual terjadi. Ketegasan penegak hukum, kata dia, sangat dibutuhkan untuk memutus kasus ini agar tidak terulang.
“Bila sudah terjadi tentu aparat harus lebih tegas, tidak bertele-tele karena sungkan atau hal lain, sebab kasus-kasus seperti ini telah mencoreng lembaga agama yg sangat suci dan sakral,” tegasnya.
Usulan Ketua PB Al Washliyah ini tidak lain karena motif pelaku pelecehan seksual seringkali tidak terungkap. Untuk itu, perlu lingkungan pendidikan yang baik untuk mencegah kejadian serupa memakan korban baru.
Dia menilai, ustadz yang menjadi pelaku pelecehan tersebut menggambarkan bahwa syahwat sudah menguasai diri. Tidak ada lagi kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan dilihat oleh Allah SWT.
“Artinya nilai-nilai aqidah, nilai-nilai akhlak sudah pupus dalam diri mereka, mungkin mereka menduga perilaku tersebut tidak akan terbongkar oleh siapapun tapi mereka lupa bahwa Allah SWT maha melihat lagi maha mengetahui,” ujarnya.
Dia menilai, fenomena tersebut kemungkinan juga disebabkan akses tayangan dewasa yang semakin mudah diakses. Selain itu, kata dia, kemungkinan juga ada kerenggangan hubungan antara suami-isteri.
“Kemungkinan, terlalu dekatnya murid dengan guru membuat pelaku tidak membatasi diri. Perilaku seksual menyimpang dan bebas sudah tidak dianggap tabu sehingga ini menjadi pemicu orang berani berbuat demikian, ” ungkapnya.
Maraknya kasus-kasus seperti itu muncul, kata dia, sebenarnya bukan karena pertama terjadi. Kasus serupa kemungkinan sudah berlangsung lama namun korban tidak memiliki wadah untuk melapor. Sisi positif social media membuat peristiwa tersebut tersampaikan.
“Selain lemahnya iman, lemahnya pengawasan di dalam institusi atau lembaga atau juga lemahnya kontrol sosial kita, ” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya kasus seperti ini pernah terjadi tetapi tidak disebar karena masyarakat segan bicara atau belum ada salurannya, sekarang media sosial semakin bebas sehingga semua peristiwa bisa tersampaikan.
Faktornya adalah semakin bebasnya tayangan-tayangan yang mengumbar nafsu, film-film jorok yg cepat dapat diakses, selain lemahnya iman, lemahnya pengawasan di dalam institusi atau lembaga atau juga lemahnya kontrol sosial kita.
(Nadilah/Azhar)