JAKARTA – Wakil Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga (PRK), Hj. Badriyah Fayumi, Lc., M.A., menjelaskan alasan penggunaan term perempuan modern sebagai tema yang diusung dalam Kongres Muslimah ke-3 tahun 2022.
“Digunakannya istilah perempuan modern yaitu karena kita hidup pascapandemi yang merupakan bagian dari zaman modern. Oleh sebab itu, Kongres ini ada dalam konteks mencari solusi masalah yang dihadapi pasca pandemi,” ungkap Nyai Badriyah, saat diwawancarai MUIDigital di sela-sela gelaran KMI ke-3, Selasa (20/12/2022).
Istilah modern, menurut dia, tak hanya berhenti dalam artian zaman saja. Modern juga bermakna peningkatan kualitas keilmuan, rasional, bersikap terbuka, siap bekerja sama, serta memiliki prinsip memilih dan memilah di tengah era perkembangan zaman.
“Terdapat tiga dimensi yang perlu diketahui untuk memaknai posisi perempuan,” katanya.
Pertama, perempuan sebagai subjek. Dalam konteks ini perempuan berperan sebagai pelaku utama dalam berbagai bidang, baik dalam agama, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, bahkan politik.
Kedua, perempuan sebagai perspektif. Pandangan ini menilai bahwa setiap bidang kehidupan harus melihat dan dilihat dari kacamata perempuan. Misalnya dalam bidang kesehatan, upaya peningkatan kesadaran terhadap penekanan stunting angka kematian ibu dan anak. Hal ini bisa dilakukan dengan menjadikan perempuan sebagai perspektif.
Ketiga, melihat perempuan sebagai kelompok khusus. Upaya ini dilakukan karena laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman biologis yang berbeda. Perempuan mengalami menstruasi, melahirkan, nifas, hingga menyusui.
“Pengalaman tersebutlah yang tidak dialami oleh laki-laki. Karenanya harus ada perlakuan khusus untuk membantu perempuan dalam menjalani pengalaman biologisnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Nyai Badriyah menyampaikan rentetan acara dalam KMI ke-3 seperti sidang komisi, sidang pleno, hingga lahirnya rekomendasi diharapkan mampu memerikan solusi atas permasalahan yang hadapi pasca pandemi.
Setiap peserta yang terdiri dari tokoh ulama, pimpinan ormas, akademisi, hingga media diharapkan mampu mengimplementasikan rekomendasi tersebut sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Cara tersebut dapat ditempuh dengan menerapkannya dalam organisasi yang mereka pimpin ataupun bekerja sama dengan KPRK MUI dalam menjalankan rekomendasi tersebut.
(Isyatami Aulia/Fakhruddin)