JAKARTA— Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, berpesan agar para dai dapat bersikap statis tetapi di saat lain harus bersikap dinamis dalam menyampaikan kebenaran.
Hal itu disampaikan dalam standardisasi Dai ke-18 Komisi Dakwah MUI secara virtual. Kiai Cholil menjelaskan, umat Islam yang tergabung di MUI adalah ahli sunnah wal jamaah yang tidak ekstrem kanan dan kiri.
“Tidak menjadi radikalis dan ekstremis bahkan teroris, juga tidak boleh liberalis,” ujar Kiai Cholil secara virtual dalam perjalanannya menuju New Delhi, India, Senin (28/11/2022).
Oleh karena itu, Kiai Cholil berpesan agar para dai dapat moderat dalam memahami teks serta memahami kapan kalanya berbicara mengenai literalis, realistis, maupun substansialistis.
“Kapan kita mengambil teks secara apa adanya, kapan kita mengambil makna majaznya dan mengambil yang bisa dilaksanakan dari ajaran agama?,” paparnya.
Dalam kondisi tertentu seperti gempa di Cianjur ini, kata Kiai Cholil, para dai harus memahami kapan bersikap liberalis yang harus digantikan dan dikuburkan dalam keadaan biasa, tetapi dalam keadaan darurat bisa beradaptasi.
“Begitu juga dengan pemahaman agama, kapan kita tegas menyampaikan agama bahwa ini kebenaran yang nggak boleh diotak-atik,” tegasnya.
Tetapi, kata Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok ini, bahwa persoalan yang sifatnya zhanni apalagi khilafiyyah dapat ditoleransi.
“Berbeda dengan yang mengaku Nabi Muhammad SAW itu dilarang juga penyimpangan. Ini harus diamputasi,” tegasnya.
Kiai Cholil mengingatkan bahwa perbedaan yang tidak bisa ditoleransi ini memerlukan wawasan Islam wasathiyah yang jelas.
“Kapan kita tasamuh, kapan kita menjadi dinamis dan statis,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Dakwah MUI, KH Drs Ahmad Zubaidi MA, saat memberikan laporan, mengatakan bahwa jumlah dai yang telah distandarkan MUI sampai saat ini sekitar 1.100 orang. Mereka ini insya Allah telah memahami persoalan keislaman, kebangsaan, dan metoda dakwah yang baik.
Ide terlaksananya program standardisasi ini, jelas Kyai Zubaidi, muncul karena banyaknya dai yang tampil di depan publik namun kurang menguasai konten. Di sisi lain, banyak pula dai yang kurang memiliki wawasan kebangsaan , dan metode dakwah yang kurang pas.
Dai dengan konten yang kurang memadai ini berisiko membuat masyarakat kurang tercerahkan, bahkan bisa memanas, padahal yang disampaikan tersebut kebenaran. Yang lebih mengkhawatirkan, para dai sendiri bisa terjebak dalam persoalan hukum negara.
“Sebenarnya ini bukan pelatihan. Kita berkumpul di sini untuk menyamakan visi dan misi, bahwa dakwah kita harus memiliki tujuan yang sama,” jelas Zubaidi. (Sadam Al-Ghifari/Mahladi, ed: Nashih)