JAKARTA— Jurnalis memiliki peran yang sangat penting dalam menyikapi perubahan iklim. Ada beberapa hal penting yang dapat dilakukan oleh jurnalis dalam menyikapi perubahan.
Ketua Lembaga Lingkungan Hidup (LLH) PP Aisyiyah, Hening Parlan, menjelaskan peran tersebut yaitu pertama, mentransformasi nilai-nilai agama ke dalam aksi-aksi lingkungan.
Kedua, tidak terpisahkan urusan bencana dengan urusan perubahan iklim. “Saat ini, hampir tidak ada bencana yang sifatnya tunggak atau sendirian. Artinya, krisis atau dampak terhadap masyarakat akan semakin besar,” kata dia dalam Halaqah Mingguan Komisi Infokom MUI bertajuk “Peran Jurnalis Lingkungan Mencegah Dampak Perubahan Iklim terhadap Krisis Ekonomi-Politik”, Kamis (17/11/2022).
Ketiga, seorang jurnalis diminta memperhatikan keberpihakan. “Menjadi seorang jurnalis lingkungan harus berpihak. Kita harus berpihak di mana tulisan kita harus ada,” kata sosok yang menjadi menjadi delegasi dalam Forum COP 27 di Mesir ini.
Lebih lanjut, Hening menjelaskan berdasarkan data pada Juni 2022, jumlah bencana yang ada di Indonesia tidak berubah dari bencana pada 2021 lalu. Bahkan, 95 persen bencana yang ada di Indonesia disebabkan hidrometeorologi.
“Sebanyak 95 persen bencana yang ada itu disebabkan oleh hidro meteorologi. Artinya, bencana tersebut disebabkan oleh iklim,” kata Hening yang juga anggota Komisi Infokom MUI ini.
Dengan adanya perubahan iklim tersebut, kata Hening, saat ini seluruh dunia sedang mengkampanyekan upaya unntuk mencegah kenaikan suhu 2 derajat dari suhu normal.
“Ada sekitar 1.500 pulau pada 2050 nanti, yang apabila ternyata suhunya menjadi 1.5 derajat, maka akan ada 1.500 pulau di negri kita yang akan tenggelam ,” kata dia.
Selaras dengan hal tersebut, Hening juga mengajak kepada umat Islam untuk menjadikan lingkungan bukan sekadar urusan sampingan. Lebih dari itu, lingkungan merupakan tempat tinggal dan tempat melakukan jihad ekologi.
Dalam sambutannya, Ketua MUI Bidang Infokom MUI, KH Masduki Baidlowi, mengingatkan pentingnya komitmen dan peran dalam menanggulangi adanya pemanasan global akibat industrialisasi modern.
“Dibutuhkan komitmen, Indonesia itu negara kepulauan. Kalau terkena pemanasan global atau kenaikan suhu itu bisa tenggelam,” ungkap dia.
Menurut dia, selain komitmen, pemerintah di sini perlu memenuhi janji Indonesia kepada dunia dalam peran mencegah dampak pemanasan global yang diucapkan dalam pidato Wapres di COP27.
Janji-janji itu adalah penurunan emisi gas rumah kaca sampai 31, 89 persen pada tahun 2030. “Misalnya dengan penanaman mangrove yang disampaikan di KTT 20,” kata Kiai Masduki. (Dhea Oktaviana/Fachrur Razi, ed: Nashih)