Oleh: Prof KH Ma’ruf Amin, Wapres RI yang Juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI
Dalam kesempatan yang baik ini terlebih dahulu saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) atas komitmen yang kuat dalam menjaga perdamaian global.
Salah satu komitmen itu melalui Abu Dhabi Forum for Peace ke-9 dengan tema “Globalized Conflict and Universal Peace: Urgent Needs for Partnership”.
Tema yang diangkat dalam Forum ini sangatlah tepat dan mendesak di tengah lingkungan strategis global dan regional yang tengah berubah cepat.
Sebelum saya menyampaikan pidato kunci lebih lanjut, izinkan saya atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia menyampaikan penghargaan atas kerja sama Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA) di bidang keagamaan dan perdamaian, utamanya dalam kerja sama pengiriman Imam dan pembangunan Masjid Raya Syeikh Zayed di Solo, Indonesia.
Pembangunan Masjid Raya Syeikh Zayed merupakan simbol hubungan yang kuat antara Indonesia dan Uni Emirat Arab.
Kedua negara juga telah meletakkan platform Islam toleran sebagai bagian dari politik luar negeri masing-masing. Toleransi beragama telah terbangun dan berkembang di kedua negara sebagai platform ikatan kebangsaan.
Dengan kesamaan visi ini, saya menyatakan kesiapan saya ketika Yang Mulia, Syekh Al Mahfouzh bin Bayyah dari Abu Dhabi Forum for Peace mengundang saya untuk hadir pada Abu Dhabi Forum for Peace ke-9.
Dalam kesempatan ini, secara singkat, saya akan berbagi “Pengalaman Indonesia dalam Memelihara Moderasi dan Toleransi Beragama dalam Upaya Menjaga Perdamaian Dunia”.
Sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat dan India, Republik Indonesia terus berupaya menjaga persatuan dan kesatuan nasional.
Memahami sebagai suatu negara yang plural, para pendiri bangsa Indonesia telah merumuskan sebuah moto “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi tetap satu).
Hal ini sejalan dengan, pesan dalam Alquran Surat Al-Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗ
اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْر
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.”
Ayat ini menggambarkan bahwa manusia itu apapun latar belakang agama, suku, ras, dan negara adalah bersaudara karena berasal dari nenek moyang yang sama yaitu Adam dan Hawa.
Dalam konteks ini, Indonesia mendorong ikatan persaudaraan untuk memperkuat Indonesia yang plural. Persaudaraan ini meliputi tiga bentuk, yakni persaudaraan dalam agama Islam (ukhuwah Islâmiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insâniyyah).
Dalam perspektif Indonesia, agama, demokrasi, dan pembangunan dapat berjalan seiring, bergandengan tangan. Dalam konteks kenegaraan, sejak awal kemerdekaan pada 1945 telah memegang ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai konsensus nasional (mîthâq al-wathanî), yang telah dibangun dan disepakati oleh founding fathers yang sebagian dari mereka adalah ulama dan tokoh agama Islam.
Kami memegang prinsip kebebasan beragama dalam dasar ideologi Pancasila dan sistem negara Indonesia yang demokratis. Dalam mewujudkan kebebasan beragama kami tetap menjaga prinsip toleransi yang sejatinya telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia. Kami memperkuat manajemen moderasi beragama untuk merawat kemajemukan dalam masyarakat Indonesia.
Salah satu upaya yang kami lakukan adalah membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang anggotanya terdiri dari majelis-majelis agama yang ada di Indonesia untuk mencegah terjadinya konflik berlatar belakang agama dan sekaligus menyelesaikan jika terjadi perselisihan internal dan antar-umat beragama.
Alhamdulillah, kami dapat mengelola masyarakat yang majemuk, sehingga terhindar dari konflik sosial. Kami menerapkan tradisi musyawarah dan kearifan lokal dalam menyelesaikan perbedaan dan konflik, serta membangun teologi kerukunan untuk mencegah terjadinya konflik.
Saat ini Indonesia mempersiapkan fondasi menuju Visi Indonesia Emas 2045, 100 tahun Indonesia Merdeka, yakni Indonesia yang Berdaulat, Maju, Adil dan Makmur. Dalam hal ini, prinsip moderasi, toleransi, dan solidaritas merupakan modal sosial bagi transformasi Indonesia ke depan.
Sebagai salah satu negara yang memiliki umat Islam terbesar di dunia, Indonesia terus mendorong diplomasi Islam Wasathiyyah, Islam yang rahmatan lil ‘alamin bagi dunia internasional.
Langkah diplomasi perdamaian telah menjadi nafas dan jiwa bangsa yang diamanatkan dalam Konstitusi UUD 1945 untuk ikut serta dalam perdamaian dunia.
Indonesia mendorong penyelesaian konflik di beberapa negara, termasuk Indonesia aktif mengirimkan misi penjaga perdamaian dan misi kemanusiaan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kunjungan Presiden RI Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia beberapa waktu yang lalu, merupakan upaya Indonesia untuk mendorong dialog dalam penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. Indonesia ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya penyelesaian diplomatik dengan pendekatan “win-win solution” dari setiap konflik antarnegara.
Sekali lagi, Indonesia mengapresiasi Abu Dhabi Forum for Peace yang telah menghasilkan berbagai deklarasi sebagai bentuk respons cepat terhadap situasi global.
Misi ini sesuai dengan Alquran Surat An-Nisa ayat 114, substansi dari ayat tersebut menyatakan bahwa perbincangan apapun tidak ada kebaikannya, tidak ada gunanya, kecuali terkait dengan tiga hal, yaitu mengajak orang untuk bersedekah, melakukan kebaikan-kebaikan, seperti membuat gagasan dan inisiatif yang bermanfaat, serta mendamaikan konflik yang terjadi antarsesama manusia.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan harapan dan ajakan kepada masyarakat internasional. Pertama, kita harus memperkuat komitmen dan langkah bersama dalam menyelesaikan tantangan dan krisis global yang bersifat multidimensi.
Kita juga perlu mendorong paradigma baru, yakni paradigma kolaborasi yang mempromosikan prinsip perdamaian, solidaritas, dan kemitraan global.
Kedua, kita harus memperkuat upaya moderasi dan toleransi beragama demi perdamaian bangsa dan dunia. Solusi manajemen moderasi beragama merupakan instrumen penting dalam mencegah konflik, membangun konsensus, dan menjaga persatuan dan kesatuan suatu bangsa dan tatanan dunia yang damai.
Ketiga, kita harus terus mendorong diplomasi Islam Wasathiyyah, Islam yang rahmatan lil ‘alamin bagi dunia internasional. Indonesia memiliki komitmen tinggi untuk mempromosikan poros Wasathiyah Islam Dunia, di mana umat Islam membangun etika global (global ethics), saling memahami, saling menghormati, dan saling ketergantungan. Dunia Islam harus bangkit untuk membangun peradaban dunia yang harmonis.
Dengan kerja sama, dukungan, dan kemitraan strategis dari semua masyarakat global, sangat berguna dalam mewujudkan perdamaian global dan regional yang berkelanjutan. Yang tidak kalah pentingnya adalah membangun perdamaian dan persaudaraan baik antar-umat Islam maupun antarnegara mayoritas Muslim.
Sekali lagi, selamat dan sukses atas pelaksanaan Abu Dhabi Forum for Peace ke-9. Semoga Allah Subhanahu Wa ta’ala senantiasa memberikan ‘inayah-Nya dan meridai setiap ikhtiar yang kita lakukan.
*Naskah ini disadur dari sambutan Wapres saat menyampaikan pidato kunci dalam Abu Dhabi Forum for Peace ke-9 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Kegiatan yang dilaksanakan pada 8 hingga 10 November 2022 ini mengangkat tema “Globalized Conflict and Universal Peace: Urgent Needs for Partnership”, tahun ini Abu Dhabi Forum for Peace berfokus pada mekanisme untuk menghadapi tantangan ekonomi, kesehatan, dan keamanan global.
Hadir dalam acara ini Menteri Toleransi UEA Sheikh Nahyan bin Mubarak Al Nahyan serta 500 lebih peserta dari 60 negara, 30 organisasi internasional, serta akademisi dan pimpinan lembaga kepemudaan.