JAKARTA – Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof Mahfud MD mengungkapkan sejumlah alasan terkait penyelesaiaan HAM berat tidak tuntas sejak reformasi.
Padahal, kata Mahfud, salah satu alasan penting mengapa zaman orde baru itu harus dijatuhkan karena banyaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Mahfud menerangkan, pelanggaran HAM masa lalu yang sifatnya berat, akan diselesaikan di pengadilan. Meskipun untuk menyelesaikannya sangat tidak mudah.
“Bukti-buktinya sudah tidak ada, buktinya sudah tidak ditemukan, pelakunya yang diperkirakan bersalah sudah tidak ada, rezim sudah diganti,” kata Mahfud saat menemui Dewan Pimpinan MUI, di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Selasa (1/11/2022).
“Dulu di pengadilan tidak bisa, Jaksa Agung tidak bisa karena tidak ada buktinya. Kita sudah pernah mengadili pasca jejak pendapat di Timor Timor, 38 orang bebas semua karena buktinya tidak ada,” paparnya.
Pada saat itu, ungkap Mahfud, pemerintah memutuskan untuk membuat jalur non yudisial, meskipun jalur yudisialnya tetap berjalan.
Mahfud menegaskan, pemerintah tidak akan menutup kasus pelanggaran HAM berat secara yudisial yakni jalur hukum atau pengadilan.
“Kasus misalnya Mei 1998, itu Komnas HAM (masih lanjut, secara yuridis),” ungkapnya.
Selain itu, Mahfud menerangkan bahwa ada kasus pelanggaran HAM berat yang tidak ada buktinya, tetapi sudah diadili.
“Misalnya kasus Tanjung Priok itu sudah selesai pengadilannya, namun oleh Komnas HAM belum tuntas dianggapnya. Kalau ini sudah bulat, maka ini ke Presiden,” paparnya.
Presiden Jokowi, kata Mahfud, sering dituding tidak mau mau menyelesaikan pelanggaran HAM. Padahal, lanjutnya, Presiden telah menyatakan bahwa semua yang ada di Komnas HAM dibawa ke pengadilan.
“Namun Jaksa Agung tidak mau karena tidak ada bukti,” pungkasnya.
(Sadam Al-Ghifari/Angga)