JAKARTA— Peneliti Terorisme di wilayah ASEAN, Andrin Raj, menyampaikan bahwa masyarakat masih kurang menyadari terorisme yang melakukan infiltrasi (masuk) ke dalam sebuah organisasi. Beberapa jaringan teroris yang ditangkap saat ini bukan lagi yang melakukan pengeboman atau penyerangan di sebuah tempat, namun tertangkap dalam sebuah organisasi penting.
Dia menyampaikan, ketidaksadaran infiltrasi ini juga ditimbulkan dari ketidaktahuan masyarakat tentang arti terorisme secara utuh. Di Indonesia misalnya, istilah radikal menjadi dipertentangkan karena dari sudut pandang filsafat, radikal itu diperlukan. Dia pun mengstilahkan ideologi yang dianut oleh para pelaku terorisme itu sebagai ideologi Islamis. Dia menegaskan, Islamis berbeda dengan Islam.
“Kita perlu kembali menegaskan bahwa Islam dan Islamis tidak saling berhubungan,” ujarnya dalam Webinar BPET MUI tentang Peringatan 20 Tahun Bom Bali, Sabtu (15/10).
Dikatakannya, ideologi Islamis yang keras itu tidak bisa dilepaskan dari jaringan Taliban yang menyebar ke seluruh dunia, khususnya Asia. Saat ini, kata dia, ideologi Islamis itu telah mengubah langkah gerak menjadi infiltrasi lembaga. Infiltrasi itu dilakukan terhadap organisasi-organisasi yang lantang menyuarakan isu demokrasi dan politik.
“Kita mungkin kurang menyadari hal ini. Infiltrasi ideologi Islamis tersebut sudah mulai masuk ke ranah pemerintahan,” ungkap peneliti asal Malaysia ini.
Di Malasyia saja, kata dia, rekrutmen militan Jamaah Islamiyah juga menyasar kalangan akademisi. Fenomena itu tumbuh karena doktrin hadist-hadist yang kerap dipakai serampangan oleh ulama ekstremis. Meski baru terlihat, sejatinya infiltrasi tersebut sudah berjalan 45 tahun. Kelompok ekstremis menargetkan 200 kader setiap tahun dari setiap universitas di Malaysia.
“Mereka mengajak pegiat syariah yang berideologi ekstremis yang tanpa mau tahu aspek dasar teologis dari Al Quran maupun hadist,” jelas dia.
Dia menambahkan, infiltrasi kepada lembaga swasta maupun pemerintah itu dilakukan melalui doktrin agama maupun isu-isu yang menarik perhatian.
“Kita jangan hanya sibuk dengan radikalisasi. Tidak mungkin kita menghilangkan radikalisme di luar sana jika ternyata di dalam organisasi kita sudah ada infiltrasi radikalisme,” ujarnya. (A Fahrur Rozi/Azhar)