JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan, para dai sebenarnya mufti karena beririsan langsung dengan masyarakat.
“Untuk memfatwakan tanya jawab dari masyarakat. Itu sebenarnya hakikatnya dari mufti,” kata dia di acara Silaturahim Dai dan Halaqah Dakwah Nasional dalam rangkaian Milad ke-47 MUI, di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (26/7).
Untuk itu, Kiai Niam berharap, peran dai dapat mengefektifkan sosialisasi fatwa-fatwa MUI yang telah ditetapkan secara institusi.
Menurutnya, fatwa MUI sangatlah penting. Karena sejak awal didirikannya MUI adalah untuk memberikan panduan keagamaan bagi masyarakat dalam praktek keagamaannya.
“Dan memberikan panduan bagi ulil amri yang terkait dengan kemaslahatan umum,” ungkap kiai Niam.
Meskipun seringkali dicap sebagai stempel pemerintah, Kiai Niam mengaku bahwa itu bisa benar dan bisa juga tidak.
Hal ini karena ada 3 perspektif fatwa MUI yang berhadapan dengan porsi ulil amri.
Pertama, kata Kiai Niam, Fatwa MUI memberikan justifikasi atas rencana program dan kegiatan yang didalamnya ada unsur kemaslahatan dan bersesuaian dengan prinsip syariah.
“Biasanya di tengah masyarakat religius, intervensi publik porsi itu tidak cukup dengan hanya pendekatan struktural,” tuturnya.
Namun, lanjutnya, dibutuhkan pendekatan kultural dan keagamaan untuk menjustifikasi sosialisasi dan implementasi.
Kiai Niam memberikan contoh seperti saat program Keluarga Berencana (KB) untuk kepentingan kesejahteraan penduduk.
Namun, diawal program KB tersebut dengan gelontoran dana yang besar, tetapi menggunakan pendekatan struktural, pada akhirnya program itu gagal.
Kiai Niam menambahkan, tetapi saat didekati dengan pendekatan keagamaan bagaimana memilih antara KB pemandulan dan pengaturan.
Dengan menetapkan fatwa bahwa pemandulan itu tidak diperkenankan oleh syariah, tetapi yang pengaturan itu diperbolehkan dengan catatan alat kontrasepsinya halal dan suci, serta pemasangannya dibenarkan secara syari, maka tidak butuh lama program KB sukses dijalankan.
Kedua, ungkap Kiai Niam, fatwa MUI berperan untuk mengingatkan atas porsi ulil amri yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syari dan juga maslahat.
“Maka dalam hal ini, posisi fatwa sebagai mengingatkan. Itulah hakikat fungsi dan kedudukan MUI sebagai shodiqul hukumah,” jelasnya.
Kemudian yang ketiga, fatwa MUI akan mengisi ruang kosong ketika ada masalah yang hakikatnya membutuhkan panduan keagamaan untuk proses implementasinya.
“Tetapi ulil amri belum mengatur dan belum masuk. Padahal ini adalah tugas ulil amri karena masalah fikih ijmaiyah, maka MUI menetapkan fatwa sekaligus juga menginisiasi,” paparnya.
Kiai Niam memberikan contoh, hal itu seperti dakwah halal bagaimana masyarakat Muslim mengonsumsi yang halal.
“Pada saat ulil amri belum memberikan Jaminan Produk Halal (JPH) bagi masyarakat Muslim untuk mengonsumsinya,” kata dia.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah Depok Jawa Barat ini menjelaskan, MUI kemudian menginisiasinya dengan menetapkan seluruh produk harus diperiksa.
Pada saat itu, lanjut Kiai Niam, MUI mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan atau yang lebih dikenal LPPOM MUI untuk memeriksa produk.
“Itu bukan mandat negara, tetapi MUI mengambil peran yang seharusnya dijalankan oleh negara. Tetapi negara alpa dan absen, hingga muncul kesadaran,” paparnya. (Sadam Al-Ghifari/Angga)