YOGYAKARTA— Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meminta masyarakat menghindari hewan ternak baik sapi, kambing, atau kerbau yang terpapar atau bergejala penyakit mulut dan kuku (PMK) untuk kurban.
“Hewan terpapar PMK itu kan berpenyakit, kalau ada hewan yang sehat sebaiknya kita tidak menggunakan hewan sakit karena akan berdampak pada hal-hal yang mudharat,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI DIY, KH Makhrus Munajat, saat ditemui di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (20/5/2022).
Terlepas dari kemunculan wabah PMK, kata Makhrus, sesuai syariat Islam dalam berqurban masyarakat memang diwajibkan memilih hewan yang sehat, tidak cacat fisik serta cukup umur.
“Bahkan yang (cacat) fisik pun kita tidak boleh misalnya tanduk hilang, hewan yang ekornya putus, telinganya hilang satu juga tidak boleh,” kata dia.
Karena itu, selama masih ada hewan yang sehat dia meminta masyarakat tidak memilih hewan yang terpapar maupun bergejala PMK, termasuk yang terkena antraks atau cacing hati.
Meski demikian, seandainya masyarakat tidak mengetahui bahwa ternak yang telah disembelih sebagai hewan qurban ternyata terpapar virus penyebab PMK, menurut Makhrus tetap halal untuk dikonsumsi.
“Ketika disembelih pun dagingnya halal dimakan. Dagingnya sah dimakan,” ujar dia sembari meminta masyarakat tidak panik menghadapi wabah PMK.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates Hendra Wibawa menuturkan masyarakat yang hendak berqurban dapat memilah hewan yang terpapar PMK dari sejumlah gejala klinis seperti mulut melepuh dan lendir berlebih, demam, serta luka pada bagian kaki.
Secara prinsip, Hendra menyebut PMK bukan tergolong “zoonosis” atau penyakit yang dapat ditularkan hewan ke manusia sehingga apabila daging hewan yang terpapar terpaksa dikonsumsi oleh manusia, kata dia, tidak membahayakan.
Namun demikian, dia meminta masyarakat yang mengonsumsi menghindari bagian kaki, kepala, dan jeroan atau organ dalam hewan karena bagian itu paling banyak terpapar virus penyebab PMK.
“Tidak membahayakan manusia, jadi risiko zoonosis-nya diabaikan karena belum ada penyakit PMK pada manusia. Ini berbeda dengan penyakit mulutnya manusia,” ujar Hendra. (Antara, ed: Nashih)