JAKARTA – Majelis Ulama Indonesi (MUI) dinilai mempunyai potensi untuk menjembatani berbagai kubu yang berbeda kepentingan. Hal ini berangkat dari perlunya mewadahi keragaman ormas Islam di Indonesia agar tidak mudah dipecah-belah. MUI memiliki peran sebagai forum silaturahim yang menjembatani keragaman tersebut.
“MUI itu sebetulnya tidak berada di posisi kanan atau kiri, tapi dia independen. Karenanya MUI memiliki potensi jadi jembatan kedua kubu tersebut. Inilah peran yang harus dimainkan oleh MUI kedepannya,” tutur Ismail Fahmi, dalam acara Halaqoh Dakwah Komisi Dakwah MUI di Aula Pusat MUI, Kamis (21/4/2022) lalu.
Wakil Ketua Komisi Infokom MUI sekaligus penggiat media sosial tersebut menyatakan berdasarkan social network analysis yang dilakukannya, posisi MUI dalam pemberitaan di media online cenderung mengarah positif, sedangkan pada sosial media cenderung negatif. Jika dipesentasekan pemberitaan dari keduanya yaitu sebesar 43 persen negatif dan 42 persen positif.
Presentase tersebut, jelas menempatkan MUI berada di tengah, tidak cenderung kanan atau pun kiri. Jika pun terdapat narasi yang ingin membubarkan MUI, hal tersebut justru akan mencerai-beraikan umat Islam. Disebabkan tidak ada lagi yang dapat menjembatani berbagai ormas Islam untuk menjalin forum komunikasi.
Pada riset yang sama, Ismail Fahmi menyatakan terdapat tiga peta narasi yang berkembang di media sosial, yaitu mengenai narasi mengenai dakwah, polarisasi, dan hal yang berkaitan dengan MUI.
Berkembangnya narasi-narasi tersebut di media sosial, memiliki dampak besar khususnya bagi generasi Z dan generasi milenial yang umumnya aktif dalam berbagai platform digital. Jika salah langkah dalam mengambil jalan dakwah, justru akan berakibat menjauhkan kedua generasi tersebut dari ajaran Islam.
“Pendekatan dakwah untuk generasi Z dan milenial tidak bisa dilakukan jika langsung merujuk kepada Alquran dan Hadis. Dikarenakan daya kritis yang tinggi dan dominannya aktivitas mereka di sosial media, sehingga cenderung menyukai hal-hal yang instan serta mudah dipahami,” katanya.
“Karenanya setelah mengetahui posisi MUI yang berada di tengah, kita wajib berkontribusi meramaikan sosial media dengan dakwah yang wasathi, misalnya pada platform Youtube,” sambungnya.
Menurut Ismail Fahmi, MUI memiliki banyak potensi meramaikan dakwah di sosial media. Hal ini disebabkan MUI merupakan tempat berkumpulnya para ulama, kiai, dan para habaib yang ilmunya mumpuni.
Namun, keterbatasan Youtuber yang handal dari MUI sendiri justru yang menjadikan dakwah tersebut kurang menarik dan sulit menjangkau generasi milenial dan generasi Z.
“Kita tidak punya kemampuan untuk membuat video yg bagus atau Youtuber yang andal. Tapi itu bisa diatasi jika kita punya jaringan Youtuber yang profesional. Sebagaimana perusahaan Go-jek yang tidak memiliki armada resmi, namun menggunakan transportasi lain yang justru mampu menjadikan perusahaan itu besar,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dikarenakan terdapat seni tersendiri dalam berdakwah kepada generasi Z dan milenial, Ismail Fahmi merekomendasikan, salah satu solusi yang bisa digunakan yaitu dengan mengajak mereka berkontribusi dalam berdakwah. Misalnya membuat video ceramah yang menarik untuk nantinya diupload pada platform Youtube.
Cara ini bisa dilakukan MUI yang sifatnya membentuk jaringan dan kolaborasi, sehingga mampu mendukung potensi yang dimiliki generasi Z dan milenial sekaligus berdakwah kepada mereka dengan membuat konten-konten positif.
“MUI dengan ajaran Islam yang luasnya seperti Samudra, berupaya menjembatani semua ormas dan generasi sehingga dapat menjalin komunikasi dan silaturahim satu dengan yang lain,” ujar dia.
(Isyatami Aulia, ed: Nashih)