JAKARTA— Ketua MUI Bidang Ekonomi Syariah dan Halal, KH Sholahuddin Al Aiyub mengisahkan keteladanan sosok Ketua Umum MUI 2000-2014 yaitu Kiai Sahal Mahfudz.
Dalam acara Ngabuburit Kebudayaan, Jumat (15/05), yang digelar Lembaga Seni dan Budaya Islam MUI itu, dia melihat Kiai Sahal Mahfudz sebagai Kiai yang paripurna.
Sekalipun masyarakat umum mengenal Kiai Sahal sebagai Ahli Fiqih Sosial, Kiai Sahal sejatinya mengusai berbagai bidang. Kiai Aiyub mencermati, Kiai Sahal selain mengusai ilmu agama secara mendalam, juga mampu menggerakkan ekonomi masyarakat, mengelola pesantren dengan amat baik, dan menjadi organisatoris ulung. Di sela kesibukannya seperti itu, Kiai Sahal juga masih menelurkan karya pemikirannya dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia.
“Beliau ini bisa dibedah dari berbagai aspek. Ilmunya bisa dipilah-pilih, ada ilmu keagamaan dan ilmu kemasyarakatan. Itu bisa dilihat dari rihlah/perjanan beliau dari satu pesantren ke pesantren lain. Beliau mentradisikan menulis. Sebagai ulama yang bukan hanya menelurkan santri kompeten, namun juga karya-karya. Tidak banyak ulama kita yang menelurkan karya seperti itu,” ujar Kiai Aiyub yang menjadi sekretaris pribadi KH Sahal Mahfudz sejak 2000 sampai 2014.
Bahkan, Kiai Aiyub menilai, Kiai Sahal memiliki kitab yang layak menjadi acuan di beberapa pesantren. Selain karya buku berbahasa Arab, Kiai Sahal juga rutin menulis di media masa. Kumpulan tulisan Kiai Sahal itu kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku. Spektrum yang dibahas di dalam tulisannya beraneka ragam bergantung pada kondisi sosio kultural yang ada saat itu.
Meskipun banyak menelurkan karya dan gagasan, Kiai Sahal tidak terjebak hanya di tataran wacana saja dan tidak turun aksi. Sebagai Kiai, beliau juga menggerakkan masyarakat di sekitarnya yang mayoritas petani untuk membentuk kelompok tani. Beliau juga membentuk skema pendanaan pertanian dalam bentuk koperasi simpan pinjam berbasis komunitas. Kiai Sahal sudah merintis ini sejak tahun 1980-an.
“Para aktivis lama pasti mengetahui rekam jejak dan sumbangsih KH Sahal Mahfudz. Beliau menginisiasi kelahiran kelompok tani jauh sebelum kita mengenal ormas-ormas saat ini yang terjun di masalah ini. Santri tidak bisa dilepaskan dari perekonomian,” ujar Kiai Aiyub.
Sebagai sosok yang paripurna, Kiai Sahal tidak terjebak pada satu kesibukan saja. Beliau begitu ahli mengatur waktu dan menempatkan diri. Ketika beliau sudah menjadi Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI, keseharian beliau masih tetap di pesantren. Kesibukan yang padat tidak menjadikan beliau lantas meninggalkan dunia pesantren dan menelantarkan santri-santrinya. Beliau tetap mengurus pesantren dengan baik. Bukti keseriusan Kiai Sahal mengurus pesantren adalah adanya kurikulum khas milik pesantren.
“Yang menjadi unik, lembaga pendidikan yang dikelola beliau dan paman beliau memiliki kurikulum pendidikan yang tidak menginduk pada kurikulum resmi negara. Kurikulum itu dirumuskan sendiri dengan muatan 75% materi keagamaan dan 25% sisanya materi umum,” ucap Kiai Aiyub.
Karena kurikulum khusus itu, Pesantren juga “mengharamkan” santrinya mengikuti ujian negara. Santri diperkenankan mengikuti ujian negara namun dipersilakan keluar dari pesantren Matlaul Falah. Di sisi lain, meski memiliki kurikulum khusus pesantren, beliau menjadi satu-satunya orang yang dipilih presiden Soeharto mewakili Pondok Pesantren untuk merumuskan pendidikan nasional. Selain beliau, sembilan orang yang dipilih Pak Harto adalah kalangan profesor.
“Sebagai seorang romo Kiai, beliau itu teladan saya. Kalau mencontoh Nabi Muhammad SAW itu terlalu jauh bagi saya. Saya tidak terlalu pintar membaca siroh nabawiyah dengan lengkap. Apa yang saya baca di siroh itu tergambar jelas dari sikap dan tindak tanduk keseharian KH Sahal Mahfudz,” pungkas Kiai Aiyub. (A Fahrur Rozi/Azhar)