JAKARTA – Terdapat empat fatwa yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dengan pewujudan siaran Ramadhan yang ramah keagamaan.
“Keempat fatwa tersebut dapat menjadi acuan bagi lembaga penyiaran, khususnya mengenai program yang akan ditayangkan saat bulan Ramadhan,” jelas Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh pada acara Halaqah Siaran Ramadhan 1443 H/ 2022 yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kiai Niam menyebutkan keempat fatwa tersebut yaitu:
Pertama, fatwa nomor 287 tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi. Fatwa ini menjadi salah satu sumber dan masukan terhadap UU Pornografi yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada tahun 2008.
Kedua, fatwa nomor 5 tahun 2010 tentang infotainment yang dikeluarkan saat Musyawarah Nasional MUI tahun 2010 di Jakarta.
Ketiga, fatwa nomor 57 tahun 2014 tentang LGSP (Lesbi, Gay, Sodomi, dan Pencabulan).
Keempat, fatwa nomor 24 tahun 2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah dari media sosial.
“Fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan tersebut merupakan bentuk khidmah MUI sebagai pelayan ummah dan mitra Pemerintah,” kata dia.
“Posisi MUI sebagai pelayan umat yaitu memastikan masyarakat dapat menjalankan ajaran agama sesuai dengan kaidah keagamaan tanpa hambatan yang memadai, termasuk melalui siaran yang tidak ramah terhadap Ramadhan,” tambahnya.
Menurut Kiai Niam, prinsip ibadah keagamaan tak hanya memiliki dimensi ilahiyah saja yang merupakan manifestasi ketundukan dan kepatuhan total kepada Allah. Dikatakan Kiai Niam, aktivitas ibadah khususnya puasa harus menjelma pula dalam aktivitas sosial yang baik.
Aktivitas puasa yang bersifat personal harus diikuti dengan kemampuan mengendalikan diri dari maksiat dan perilaku yang merugikan orang lain.
Atas dasar itulah, ia mengatakan bahwa media sebagai fasilitator konten yang tersebar baik di TV maupun sosial media bertanggung jawab penuh terhadap apa yang disiarkan.
Kiai Niam menjelaskan alasannya karena selama ini perilaku buruk dapat timbul melalui aktivitas penyiaran yang hanya berorientasi pada eksploitasi ghibah, namimah, talkshow debat tanpa makna yang tidak memiliki visi ramah terhadap kesucian bulan Ramadhan.
“Mengutip pendapat dari Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu seandainya orang yang tengah berpuasa, namun dia tetap mengeksploitasi info tentang ghibah ataupun memfasilitasi tersebarnya kabar tersebut maka dia maksiat. Sekalipun bisa jadi tidak membatalkan puasa yang tengah dijalankan,” ujar Ketua MUI Bidang Fatwa ini.
Kiai Niam juga mengingatkan terdapat tiga etika yang perlu diperhatikan dalam dunia penyiaran.
Pertama, menyampaikan informasi mengenai kebaikan atau diam. Awak media bisa berkomitmen untuk membuat siaran yang positif sebagai edukasi sekaligus hiburan yang bisa menginspirasi.
Kedua, tidak boleh menyiarkan setiap sesuatu yang menarik. Hal ini dikarenakan tidak jarang sebuah berita yang belum ada verifikasi dari narasumber langsung disiarkan tanpa mekanisme klarifikasi dan konfirmasi.
Ketiga, menjaga keasusilaan, menghindari pornografi, erotisme dan aktivitas maksiat lainnya.
“Bermuamalah melalu media sosial dan penyiaran sangat berkaitan dengan muamalah syariah yaitu berdasarkan pada muasyaroh bil ma’ruf, komitmen membangun persaudaraan, tidak memecah belah, wasiat akan kebenaran serta mengajak kepada kebenaran,” imbuhnya.(Isyatami Aulia/Angga)