■ Oleh : Dr KH Muammar Bakry Lc MA, Sekretaris Umum MUI Sulsel
OPINI, muisulsel.com –– Iman adalah sebuah kata yang telah di Indonesiakan, bisa digolongkan sebagai kata sifat, dapat pula digolongkan sebagai kata kerja.
Itu maknanya bahwa kata ini tidaklah mudah untuk disandang sebagai sifat seseorang kecuali dengan terus berusaha dan bekerja untuk mencapai derajat iman.
Kata Iman dalam bahasa Arab terdapat banyak bentuk, antara lain Amanna, imnan yang berarti optimal.
Pengertian ini bermakna bahwa orang yang beriman melakukan pekerjaan dengan baik dan optimal serta meyakinkan, tidak dilakukan asal-asalan.
Kata ini juga terambil dari akar kata amuna, amanah yang berarti bertanggungjawab apabila diberi amanah, artinya orang mukmin idealnya bukanlah orang yang menghianati amanah yang diberikan kepadanya.
Kata iman juga berasal amina, amnan yang berarti tenang atau memberi ketenangan, maksudnya bahwa orang beriman adalah orang yang selalu menjaga diri, orang lain dan lingkungannya tetap aman dan damai.
Kehadirannya membuat orang lain merasa tenang, bukan menjadi peneror apalagi teroris.
Makna lain dari Iman adalah ammana, ta’min yang berarti menjamin dan jaminan, artinya orang beriman digaransi untuk selalu melakukan kebaikan dan manfaat kepada orang lain, sehingga ia menjadi terpandang di tengah masyarakat.
Dalam bahasa Arab disebut amma, juga berakar dari kata iman yang berarti terpandang karena diberi anugerah (manna) yang juga berakar dari kata iman.
Dalam titeratur Islam, iman adalah membenarkan dengan hati mengucapkan dengan lisan dan membuktikan dengan amal perbuatan.
Artinya antara hati, lisan dan perbuatan selalu sejalan dan tidak pernah bertentangan. Bukanlah iman, lain di hati lain di lidah, lain di kata lain pula perbuatan.
Ini sejalan dengan pepatah Bugis Makassar, Taro ada taro gau (satu kata dengan perbuatan).
Pengertian iman (baca mukmin) di atas seringkali dilawankan dengan kata “kafir, musyrik dan munafik”.
Maka orang mukmin dalam pandangan Islam adalah mereka yang percaya pada hal-hal yang gaib sebagai yang disebutkan dalam beberapa ayat dan riwayat Hadits yaitu memercayai Allah ta’ala, malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, hari akhirat dan qadha/qadarNya sebagai satu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan dalam i’tikad.
Dasar keimanan di atas menjadi kekuatan yang amat dahsyat dalam membangun integritas yang kuat dalam kepribadian manusia.
Satu di antara manusia yang memiliki integritas kuat dan komitmen keimanan adalah Bilal bin Rabah yang pernah mengalami penyiksaan dari tuannya Umayyah bin Khalaf karena telah memeluk Islam.
Bilal yang dibaringkan di atas padang pasir ditindis batu di siang hari yang sangat panas, namun siksaan itu tak membuat akidahnya berubah, malahan ia berkata “Ahad! Ahad! (Allah Maha Esa).
Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Dinar, saya keluar bersama Umar bin Khattab ra ke Makkah, di pertengahan jalan bertemu dengan seorang pengembala kambing.
Lalu Umar meminta kepada pengembala untuk menjual seekor kambingnya. Namun sang pengembala berkata, saya hanya seorang budak yang diamanahkan untuk mengembala kambing-kambing tuan saya.
Umar kemudian berkata, bilang saja kepada tuanmu bahwa satu ekor telah dimakan serigala. Sang pengembala dengan spontan menjawab, lalu di mana Allah?
Mendengar jawaban itu, Umar ra menangis terharu. Selanjutnya Umar melepaskan dengan membeli budak itu dari tuannya, lalu berkata, saya memerdekakan engkau di dunia semoga Allah membebaskan engkau di akhirat.
Orang beriman ‘merasa memiliki’ Tuhan untuk membantu dan mengarahkannya dari kegelapan kepada yang baik (yukhrijuhum minadzulumati ilannur), tapi orang yang tidak beriman mengikuti thogut (setan) yang selalu mengajak untuk berlaku dzalim dan meninggalkan cahaya (yukhrijuhum minannur ilazzulumati).
Refleksi keimanan seseorang terilihat dari sikapnya seperti yang tersebut dalam riwayat, bahwa Iman tergambar dalam 70 tingkatan, yang paling tinggi tauhid dan paling rendah adalah menyingkirkan atau membersihkan kotoran dari jalan.
Maksud dari riwayat itu adalah refleksi keimanan seseorang tergambar dalam budi pekertinya untuk selalu menjaga diri dan alam sekitarnya.
Orang yang beriman selalu menjaga kebersihan (annadzaftu minal iman), memiliki rasa malu (siri’; kata bugis), memiliki pendirian yang teguh, tegas dalam bersikap, memiliki semangat yang tinggi dalam melakukan pekerjaan, memiliki rasa peduli kepada orang lain, berjiwa sosial dan selalu berfikir serta melakukan hal-hal yang menjauhkan orang dari segala bahaya.
Iman dan kedzaliman tidak pernah menyatu dalam kepribadian manusia, Nabi pernah menyampaikan dalam makna riwayat Hadis bahwa saat berzina orang tidak beriman, saat mencuri orang tidak beriman, saat mabuk orang tidak beriman.
Hadis yang menyebutkan tiga kegiatan di atas, semata-mata sekedar sampel dari beberapa kedzaliman lainnya, sehingga pesan dari substansi Hadis ini tidaklah berhenti pada tiga hal yang disebutkan.
Tapi juga mewakili yang lain seperti saat orang korupsi tidak beriman, saat orang menghianati amanah tidaklah beriman, teroris bukanlah orang mukmin, orang yang egois bukanlah orang mukmin dan seterusnya.
Karena itu, Iman adalah perbuatan hati yang sangat pribadi, namun dapat tercermin dalam aktivitas tubuh yang sejatinya terefleksi dalam akhlak yang baik.■
The post Iman, Membangun Integritas Diri appeared first on MUI SULSEL.